Thursday, December 15, 2011

Psikologi Agama -- Problema Keimanan

BAB I
PENDAHULUAN
Agama menyangkut kehidupan batin manusia. Oleh karena itu kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang lebih menggambarkan sisi-sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan dunia ghaib. Dari kesadaran agama dan pengalaman agama ini pula kemudian munculnya sikap keagamaan yang ditampilkan seseorang.
Pada garis besarnya teori mengungkapkan bahwa sumber jiwa keagamaan berasal dari faktor intern dan dari faktor ekstren manusia. Pendapat pertama menyatakan bahwa manusia adalah homo relegius (makhluk beragama) karena manusia sudah memiliki potensi untuk beragama. Potensi tersebut bersumber dari factor intern manusia yang termuat dalam aspek kejiwaaan manusia seperti naluri, akal, perasaan, maupun kehendak dan sebagainya. Namun pendukung teori ini masih berbeda pendapat mengenai faktor mana yang paling dominan.


BAB II
PEMBAHASAN
PROBLEMA KEIMANAN
A.    Kualifikasi keimanan
Menghadapi permasalahan pertama mengenai kadar kekokohan keimanan seseorang dalam agamanya, W.H. Clark, (1969, 220-224) mengidentifikasi empat tingkat keimanan, yaitu :
1.      Keimanan yang verbalistik
2.      Keimanan yang intelektualistik
3.      Keimanan yang demonstratif
4.      Keimanan yang komprehensif integrative
Garis besar orientasi keempat tingkat keimanan tersebut dapat diurutkan sebagai berikut :
1.      Keimanan yang verbalistik
Keimanan yang verbalistik, dimulai perkembangannya sejak usia anak-anak. Dilihat dari bentuknya, keimanan tingkat ini terbatas pada pemahaman mengenai ucapan-ucapan serta kata-kata majis keagamaan. Proses penerimaannya langsung melalui prinsip stimjulus-stimulus. Karena itu, proses pembelajarannya berlangsung secara persuasif yang melibatkan orang tua memberi contoh pengucapan suatu ucapan keagamaan, kemudian anak mengulangi dan menirukannya, dan akhirnya anak diberi sesuatu sebagai hadiah atas kemampuannya.
Meskipun tipe keimanan seperti ini dikatakan mulai berkembang pada masa anak, namun tidak berarti akan tuntas dengan berakhirnya masa itu, sehingga banyak juga mereka yang sudah dewasa tapi tipe keyakinannya masih berada pada fase ini. Satu hal yang perlu dicatat bahwa juntuk memperlancar proses ini diperlukan adanya otoritas, sugesti, tekanan sosial serta pengamatan atau monitoring yang seksama. Pantaslah psikologinya apabila seseorang telah mampu mengekspresikan ucapan-ucapan keagamaan seperti itu sesuai dengan kondisi stimulusnya, mereka akan merasa lelah memperoleh jaminan perlindungan dari orang tuanya atau dari orang lain yang dipandang menguasainya. Hal itu berarti bahwa fase keimanan seperti ini hanya sekedar diarahkan untuk memperoleh jaminan keselamatan dan keamanan psikologis semata-mata.
2.      Keimanan yang intelektualistik
Tingkat ini sudah melibatkan pertimbangan proses berfikir secara kreatif yang lebih sulit dalam mencari kebenaran iman dibanding dengan tingkat yang pertama diatas. Pada tingkat ini orang terikat oleh kelogisan dan alsan-alasan yang masuk akal dalam upaya menerima keyakinan. Akan tetapi penerimaan keyakinan secara intelektual itu tidak berarti semata-mata intelektual. Artinya sampai batas tertentu memang diperlukan tuntutan kelogisan dalam upaya menerima keyakinannya. Selebihnya perlu dipermasalahkan apakah keyakinan agama itu dicapai melalui proses berfikir murni, sebagaimana tidak perlu sepenuhnya keyakinan agama itu dikaitkan dengan kenyataan hidup.
Pada pihak lain, kadar keterlibatan intelektual dalam tipe dan tingkat keyakinan ini diorientasikan pada bukti-bukti adanya tuhan, baik secara ontologi, kosmologi, theologi, maupun secara pragmatik.
Bukti-bukti ontologi didasarkan atas ide dan pemikiran manusia tentang tuhan. Bukti kosmologi berlandaskan pada pemikiran bahwa tuhan adalah maha pencipta. Dan harus ada karena ada alam ciptaannya. Sementara secara theology, bukti-buktinya didasarkan atas kesadaran mengenai bedanya pencipta dengan makhluk-Nya. Karena itu tuhan adalah maha mengetahui dan maha bijaksana. Akhirnya bukti pragmatik mengenai keyakinan adanya tuhan berakar pada pemahaman manusia bahwa keyakinan itu dapat membawa pada hasil-hasil baik, menguntungkan dan menyenangkan.
3.      Keimanan yang demonstratif
Pada tingkat ini keimanan lebih banyak diwujudkan dalam bentuk tingkah laku dan pengalaman agama secara demonstrativa dari pada hanya dalam bentuk kata-kata. Manifestasi keimanan disini berbeda dibanding dengan tingkat keimanan yang bersifat verbalistik maupun yang bertipe intelektualistik. Dasar pemikirannya adalah bahwa tingkah laku dan pengalaman agama yang ditampilkan secara demonstrative belum tentu didahului oleh analisis tentang keyakinan itu akan menjadi penyebab munculnya pengalaman ajaran agama. Sebabnya adalah bahwa tingkah laku dan pengamalan agama disini hanya merupakan kebiasaan yang sudah melekat dalam aktifitas kehidupan sehari-hari. Jadi seorang muslim yang karena kebiasaannya sejak kecil secara otomatis mengerjakan sholat lima waktu apabila telah datang waktunya tidak berarti pengamalannya didasarkan atas hasil analisisnya mengenai besarnya keyakinan yang melandasi tindakannya. Hanya saja karena pengalaman ajaran agama menuntut keterlibatan organisme, maka hal itu biasanya mengundang keseganan dan malas mengerjakannya.
Akibatnya amal yang diperbuatnya itu dirasakan seolah-olah ada tekanan dan paksaan. Atau bersembunyi sehingga manimbulkan rasa berdosa apabila tidak melaksanakannya. Namun demikian dibandingkan dengan dua tingkat dibawahnya.
Keimanan yang diwujudkan dalam bentuk pengamalan ini dipandang lebih tinggi, mengingat konsekuensi keimanan lebih berorientasi pada tuntutan pengamalan dari pada hanya dibuktikan dalam bentuk keterlibatan mental semata-mata.
Apalagi didasari bahwa tidak semua masalah keimanan dapat dilogokakan, tetapi sebaliknya pembuktian suatu pengakuan dalam bentuk tindakan konkrit merupakan satu prinsip yang berlaku dalam kebanyakan lapangan kehidupan.
Lebih tinggi lagi kalau dibandingkan dengan keimanan yang bertipe verbalistik, sebab kadar kesadarannya masih digantungkan pada perolehan materi sebagai hadiah atas kemampuannya
4.      Keimanan yang komprehensif dan integratif
Ketiga tipe dan tingkat keimanan diatas nampak perwujudannya dalam bentuk ekspresi partikel yang satu sama lainnya terpisah. Justru karena keterpisahan itu, maka ketiganya tidak dapat memberikan kepuasan kepada pemiliknya, mengingat masing-masing mengandung kepincangan. Lain halnya apabila ketiga tipe tersebut menyatu dan terinternalisasi pada diri orang yang beragama, barulah akan dicapai keimanan yang komprehensif dan integrative.
Jelasnya apabila seseorang telahmenguasai ungkapan-ungkapan keagamaan, kemudian dipahami dan disadari kebenaran isi kandungannya, baik dalam kaitan dengan tuntutan hidup lahiriyahnya maupun kelogisan ketergantungannya terhadap keyakinan sebagai esensi agama, dan akhirnya dipantulkan dalam wujud pengamalan ajaran agama, maka tercapailah tingkat keimanan yang keempat ini. Konotasi komprehensipnya dapat dilihat dari pemahaman dan kesadaran atas berkumpulnya ketiga tipe keimanan diatas dalam segi totalitas yang berinternalisasi pada individu yang bersangkutan. Sedang orientasi integrasinya dapat dipahami dari kenyataan bersambungnya dan saling memperkuat antara keimanan verbal yang diinternalisasi karena dipahami melalui proses berpikir kritis, dan kreatif, serta akibat kesadarannya itu terpatri tuntutan untuk mewujudkannya dalam bentuk tingkah laku nyata.
Tentu saja konsepional tipe keimanan yang keempat ini merupakan gambaran kualifikasi keimanan yang tertinggi. Namun hal ini tidak berarti bahwa semua orang yang memiliki tipe keimanan ini akan benar-benar dalam dan sempurna, sehingga seolah-olah melahirkan kekokohan keimanan yang tidak dapat diganggu gugat.

B.     Faktor-faktor penyebab problema keimanan
Menurut Kalish mengidentifikasikan lima hal yang dapt mendongkel ketegaran keimanan orang yang beragama yaitu :
1.      Kontradiksi antara ilmu dan agama
2.      Akibat mempelajari agama lain
3.      Kesulitan membatasi kebebasan agama
4.      Masalah tujuan hidup
5.      Arti mati dan hidup sesudah mati
1.      Pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama
Dilihat dari pemanfaatannya oleh manusia, memang terdapat kesesuaian antara ilmu pengetahuan dan agama. Secara esensial kehadiran ilmu itu dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh umat manusia. Karena itu kehadiran dan pengembangannya menurut kebebasan, kelugasan, dan kerasionalan ilmu pengetahuan juga menuntut dan melahirkan arus informasi yang lebih intensif, sehingga dapat merangsang usaha bersama untuk menjadikan penelitian-penelitian ilmiah lebih relevan dengan kebutuhan umat manusia dan meyakinkan semua negara mengenaikeadaan dan perkembangannya, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan termasuk perkembangan dan pengetahuan dan teknologinya sendiri.
Ilmu pengetahuan yang mendasarkan perkembangannya pada keraguan, sehingga setiap kenyataan selalu mengundang pertanyaan dan menuntut pembuktian, sementara agama bertolak dari keyakinan bahwa tuhan itu ada dan semua kenyataan itu diciptakan oleh tuhan.

Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendororng untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama.
C.    Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah Laku
Dalam pengertian umum sikap dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi afektif terhadap obyek tertentu berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan individu (Mar’at:19). Dengan demikian sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman seseorang dan bukan sebagai pengaruh bawaan (factor intern) seseorang, serta tergantung kepada obyek tertentu. Obyek sikap oleh Edward disebut sebagai psychological object.(Mar’at:21)
Menurut Prof.Dr. Mar;at, meskipun belum lengkap Allport telh menghimpun sebanyak 13 pengertian mengenai sikap. Dari 13 pengertian itu dapat dirangkum menjadi 11 rumusan mengenai sikap. Rumusan tersebut adalah bahwa:
1.      Sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus menerus dengan lingkungan.
2.      Sikap selalu dihubungkan dengan obyek seperti manusia, wawasan,peristiwa maupun ide.
3.      Sikap diperoleh dalam berientraksi dengan manusia lain baik di rumah, di sekolah, tempat ibadah ataupun tempat lainnya melalui nasehat, teladan atau percakapan.
4.      Sikap sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap obyek.
5.      Bagian yang dominan dari sikap adalah peraksaaan dan afektif seperti yang tampak dalam menetukan pilihan apakah positif, negative atau ragu.
6.      Sikap memiliki tingkat intensitas terhadap obyek tertentu yakni kuat atau lemah.
7.      Sikap bergantung pada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu mungkin sesuai sedangkan di saat dan situasi yang berbeda belum tentu cocok.
8.      Sikap dapat bersikap relative dalam sejarah hidup individu.
Sikap merupakan predisposisi untuk bertindak senang ataiu tidak senang terhadap obyek tertentu yan mencakup komponen kognisi, afeksi dan konasi. Dengan demikian sikap merupakan interaksi dari komponen-komponen tersebut secara kompleks.
Tiga komponen psikologi yaitu kognisi, afeksi dan konasi yang bekerja secara kompleks merupakan bagian yang menetukan sikap seseorang terhadap suatu objek, baik yang berbentuk konkrit maupun obyek atau abstrak. Komponen kognisis akan menjawab tentang apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang obyek. Komponen afeksi dikaitkan dengan apa yang dirasakan terhadap obyek. Dengan demikian sikap yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses berfikir, merasa dan pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap suatu obyek.

D.    Sikap Keagamaan yang Menyimpang.
Sikap keagamaan yang menyimpang terjadi bila sikap seseorang terhadap kepercayaan dan keyakinan terhadap agama yang dianutnya mengalami perubahan. Sikap keagamaan yang menyimpang merupakan masalah pada tingkat tertentu dapat menimbulkan tindakan yang negative dari tingkat yang terendah sehingga ke tingkat yan paling tinggi, seperti sikap regresif (menarik diri) sehingga ke sikap yang demostratif (unjuk rasa). Sikap menyimpang seperti itu umumnya berpeluang untuk terjadi dalam diri seseorang maupun kelompok pada setiap agama. Perseteruan antaragama yang terjadi seperti peristiwa Perang Salib, muncuknya gerakan IRA di Inggris, hingga ke aliran-aliran keagamaan yang dianggap menyimpang misalnya Children of God di Amerika ataupun sekte kiamat di Jepang yang dinamakan kelompoknya Aum Shinrikyo (kebenaran tertinggi) baru-baru ini.
Sikap keagamaan yang menyimpang dapat terjadi bila terjadi penyimpangan pada kedua tingkat piker dimaksud, sehingga  dapat member  kepercayaan dan keyakinan baru pada seseorang atau kelompok. Dengan demikian sikap keagamaan yang menyimpang cenderung didasarkan pada motif yang bersifat emosional yang lebih kuat ketimbang aspek rasional.

E.     Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Keagamaan yang Menyimpang.
Sikap berfungsi untuk menggugah motif untuk bertingkah laku, baik dalam bentuk  tingkah laku nyata, maupun tingkah laku tertutup. Dengan demikian sikap mempengaruhi dua benrtuk reaksi seseorang terhadap obyek, yaitu dalam bentuk nyata dan terselubung. Karena sikap diperoleh dari hasil belajar atau pengaruh lingkungan, maka sikap dapat diubah, walaupun sulit.
Beberapa teori psikologi mengungkapkan mengenai perubahan sikap tersebut antara lain teori stimulus dan respon, teori pertimbangan social, teori konsistensi dan teori fingsi. Masing-masing teori didasarkan atas pendekatan aliran psikologi tersebut. Teori stimulus dan respon yang memandang manusia sebagai organism menyamakan perubahan sikap dengan proses belajar. Menurut teori ini ada tiga variable yang mempengaruhi terjadinya perubahan sikap, yaitu perhatian, pengertian dan penerimaan.
Teori pertimbangan social melihat perubahan sikap dari pendekatan psikologi social. Menurut teori ini perubahan sikap ditentukan oleh factor internal dan factor eksternal. Factor internal yang mempengaruhi perubahan sikap, yaitu: 1. Persepsi social, 2. Posisi social dan proses belajar social. Sedangkan factor eksternal terdiri dari atas: 1. Factor penguatan, 2. Komunikasi persuasive, dan 3. Harapan yang diinginkan. Perubahan sikap menurut teori ini ditentukan oleh keputusan-keputusan social sebagai hasil interaksi factor internal dan eksternal.
Teori konsistensi menurut teori ini perubahan sikap lebih ditentukan oleh factor intern, yang tujuannya untuk menyeimbangkan antara sikap dan perbuatan. Keempat fase dalam proses terjadinya perubahan sikap itu adalah:
1.      Munculnya persoalan yang dihadapi.
2.      Munculnya beberapa pengertian yang harus dipilih.
3.      Mengambil keputusan berdasarkan salah satu pengertian yang dipilih.
4.      Terjadi keseimbangan.






BAB II
PENUTUP
KESIMPULAN
A.    Kualifikasi keimanan
Menghadapi permasalahan pertama mengenai kadar kekokohan keimanan seseorang dalam agamanya, W.H. Clark, (1969, 220-224) mengidentifikasi empat tingkat keimanan, yaitu :
1.      Keimanan yang verbalistik
2.      Keimanan yang intelektualistik
3.      Keimanan yang demonstratif
4.      Keimanan yang komprehensif integrative
B.     Faktor-faktor penyebab problema keimanan
Menurut Kalish mengidentifikasikan lima hal yang dapt mendongkel ketegaran keimanan orang yang beragama yaitu :
1.      Kontradiksi antara ilmu dan agama
2.      Akibat mempelajari agama lain
3.      Kesulitan membatasi kebebasan agama
4.      Masalah tujuan hidup
5.      Arti mati dan hidup sesudah mati
C.    Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah Laku
Menurut Prof.Dr. Mar;at, meskipun belum lengkap Allport telh menghimpun sebanyak 13 pengertian mengenai sikap. Dari 13 pengertian itu dapat dirangkum menjadi 11 rumusan mengenai sikap. Rumusan tersebut adalah bahwa:
1.      Sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus menerus dengan lingkungan.
2.      Sikap selalu dihubungkan dengan obyek seperti manusia, wawasan,peristiwa maupun ide.
3.      Sikap diperoleh dalam berientraksi dengan manusia lain baik di rumah, di sekolah, tempat ibadah ataupun tempat lainnya melalui nasehat, teladan atau percakapan.
4.      Sikap sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap obyek.
5.      Bagian yang dominan dari sikap adalah peraksaaan dan afektif seperti yang tampak dalam menetukan pilihan apakah positif, negative atau ragu.
6.      Sikap memiliki tingkat intensitas terhadap obyek tertentu yakni kuat atau lemah.
7.      Sikap bergantung pada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu mungkin sesuai sedangkan di saat dan situasi yang berbeda belum tentu cocok.
8.      Sikap dapat bersikap relative dalam sejarah hidup individu.
D.      Sikap Keagamaan yang Menyimpang
Sikap keagamaan yang menyimpang dapat terjadi bila terjadi penyimpangan pada kedua tingkat piker dimaksud, sehingga  dapat member  kepercayaan dan keyakinan baru pada seseorang atau kelompok. Dengan demikian sikap keagamaan yang menyimpang cenderung didasarkan pada motif yang bersifat emosional yang lebih kuat ketimbang aspek rasioanl.
E.     Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Keagamaan yang Menyimpang.
Sikap berfungsi untuk menggugah motif untuk bertingkah laku, baik dalam bentuk  tingkah laku nyata, maupun tingkah laku tertutup. Dengan demikian sikap mempengaruhi dua benrtuk reaksi seseorang terhadap obyek, yaitu dalam bentuk nyata dan terselubung. Karena sikap diperoleh dari hasil belajar atau pengaruh lingkungan, maka sikap dapat diubah, walaupun sulit.
 
 

DAFTAR PUSTAKA
Dr.Jalaluddin, “Psikologi Agama”,PT RajaGrafindo Persada;Jakarta,1997.

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites