Wednesday, May 11, 2011

Sejarah Peradaban Islam - Perang Shiffin Sebagai Perubahan Kepemimpinan Demokratis Ke Otokratis


by Saidi
BAB I
PENDAHULUAN

Perang Siffin peperangan yang terjadi pada tahun 37 H antara Saidina `Ali dan Saidina Mu`auwiyah di satu tempat di Iraq yang bernama shiffin. korban yang ditimbulkan cukup besar ,dari pihak Saidina Ali gugur 25.000 dan dari pihak Saidina Mu`awiyah gugur 45.000 orang .
            Jalannya peperangan menguntungkan Saidina Ali .Hampir seluruh pasukan Saidina Mu`auwiyah lari kocar kacir . Akan tetapi mereka menjalankan suatu siasat yaitu menyerukan “cease fire” (penghentian tembak menembak ). mereka mengikat beberapa lembar kitab AlQur-an diujung tombak mereka dan mengacungkan keatas sambail meneriakkan penghentian tembak menembak dan berhukum kepada Al Qur-an.
           Saidina Ali pada mulanya tidak menerima ajakan ini ,karena beliau mengetahui hal itu hanyalah siasat orang yang hampir kalah.tetapi Saidina Ali didesak oleh sebagian pasukannya ,sehingga ada yang mengatakan kenapa kita tidak berhukum kepada Al Quran .Akhirnya Saidina Ali menerima tawaran‘cease fire‘dan pulang ke Baghdad,sedangkan Saidina Mu`auwiyah pulang ke Dasmaskus.kemudian disusunlah delegasi dari kedua belah pihak untuk berunding .Delegasi Saidina Ali dipimpin oleh Abu Musa Al `Asy`ari dan dipihak Saidina Mu`auwiyah dipimpin oleh Saidina `Amru bim `Ash.







BAB II
PEMBAHASAN
A.KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB MENJABAT KHALIFAH
            Penduduk kota  Madinah Al-Munawwarah, didukung oleh ketiga-tiga pasukan yang datang dari Mesir,Basrah dan Kufah, memilih Ali bin Abi Thalib untuk menjabat sebagai Khalifah. Konon pada mulanya Ia menolak, akan tetapi atas desakan massa itu,Ia pun menerima jabatan itu.
            Bai’at berlangsung di Mesjid Nabawi. Zubair ibn Awwam dan Thulhah ibn Ubaidillah konon mengangkat bai’at dengan terpaksa, dan justru keduanya mengajukan syarat didalam bai’at itu, bahwa Khalifah Ali akan menegakkan keadilan terhadap para pembunuh Khalifah Utsman bin Affan.[1]
            Khalifah Ali adalah Khalifah yang keempat dan terakhir dari suatu daulat(dinasti), yang di dalam Islam dikenal dengan daulat Khulafaur Rasyidin.
            Pengangkatan Ali itu sebagai Khalifah pada bulan Zulhijjah tahun 35 H/ 656 M, dan memerintah selama 4 tahun 9 bulan, menjelang pembunuhan terhadap dirinya pada bulan Ramadhan tahun 40 H/ 661 M.
            Pada masa pemerintahan Khalifah Ali itu, perpecahan yang kongkrit didalam kalangan Al Shahabi menjadi sutu kenyataan, dengan pecah beberapa kali sengketa bersenjata yang banyak menelan korban. Juga pada masa itu bermula lahir sekte-sekte di dalam sejarah dunia Islam, yakni sekte Syiah dan sekte Khawarij. Bermula sebagai kelompok-kelompok politik yang berbedaan paham dan pendirian tapi lambat-laun berkembang menjadi sekte-sekte keagamaan, mempunyai ajaran-ajaran keagamaan tertentu didalam beberapa permasalahan Syariat dan Aqidah. Perkembangan tersebut berlangsung beberpa puluh tahun setelah sepeninggal Khalifah Ali bin Abi Thalib.
            Dalam sejarah tersebut telah diungkapkan,  Islam telah menghidupkan demokrasi setelah hampir sempat hilang. Islam  dengan Negara Madinahnya pada 611M telah membawa umatnya pada  kemakmuran, dan membawa Islam pada masa-masa kejayaan. Selain itu, demokrasi juga diterapkan dalam memilih Khalifah melalui  sistem pemilihan yang penentuannya adalah baiat oleh umat muslim. Baiat  diterapkan mulai kepemimpinan Nabi Muhammad hingga masa  Khulafaur Rosyidin termasuk dalam pemilihan Ali Bin Abi Thalib. Namun  pemilihan Ali berbeda dengan pemilihan-pemilihan sebelumnya, di mana  Pemilihan Ali adalah pemilihan secara langsung oleh umat Muslim.
B.THE BATTLE OF SHIFFIN
Perang Shiffin. Pertempuran itu terjadi tahun 37 H. (656 M.), antara Amirul Mukminin dan Gubernur Suriah, Mu’awiah, untuk apa yang dinamakan membalas dendam atas kematian Khalifah ‘Utsman. Tetapi penyebab sebenarnya hanyalah karena Mu’awiyah, yang telah lama menjadi Gubernur Suriah yang otonom sejak diangkat Khalifah ‘Umar, tidak mau kehilangan jabatannya itu dengan membaiat kepada Amirul Mukminin ‘Ali ibn Abi Thalib. Ia hendak mempertahankan keutuhan wewenangnya dengan mengeksploitasi pembunuhan Khalifah ‘Utsman. Peristiwa-peristiwa di hari-hari kemudian membuktikan bahwa setelah mengamankan pemerintahan ia tidak mengambil suatu langkah nyata untuk membalaskan darah ‘Utsman, dan sama sekali tak pernah berbicara tentang para pembunuh ‘Utsman.[2]
Walaupun Amirul Mukminin menyadari sejak semula bahwa peperangan akan tak terelakkan, ia masih terus berusaha menyadarkan Mu’awiah. Pada hari Senin 12 Rajab 36 H., setelah kembali ke Kufah dari Perang Jamal, Amirul Mukminin mengutus Jarir ibn ‘AbduIlah al-Bajali ke Mu’awiah di Damsyik dengan membawa sepucuk surat di mana ia mengatakan bahwa kaum Muhajirin dan Anshar telah membaiatnya dan Mu’awiah pun harus membaiat kepadanya dahulu baru kemudian mengajukan kasus pembunuhan ‘Utsman kepadanya supaya Amirul Mukminin dapat menjatuhkan keputusan berdasarkan Al-Qur’an dan sunah. Tetapi Mu’awiah menahan Jarir dengan berbagai alasan, dan setelah berunding dengan ‘Amr ibn al-‘Ash, ia membangkang dengan dalih kasus pembunuhan ‘Utsman.
Gubernur Suriah itu menahan Jarir dengan dalih untuk memberikan jawaban. Sementara ia mulai menyelidiki sejauh mana rakyat Suriah mendukungnya dengan membangkitkan semangat balas dendam atas darah ‘Utsman, ia bermusyawarah dengan saudaranya ‘Utbah ibn Abi Sufyan. ‘Utbah menyarankan, “Apabila dalam hal ini ‘Amr ibn ‘Ash dihubungi, ia akan menyelesaikan banyak kesulitan dengan kecerdikannya. Tetapi, ia tak akan mudah bersedia untuk menguatkan kekuasaan Anda apabila untuk itu ia tidak dibayari dengan apa yang diinginkannya. Apabila Anda telah bersedia untuk itu maka akan ternyata bahwa dia penasihat dan penolong yang terbaik. Mu’awiah menyukai saran ini. Ia myuruh panggil ‘Amr ibn “’Ash lalu membicarakan hal itu, dan akhiraya diputuskan bahwa ia akan menuntut balas atas darah ‘Utsman dengan menuduh Amirul Mukminin bertanggung jawab atasnya. Sebagai imbalan ia akan menjadi Guberaur Mesir, dan bahwa dalam keadaan bagaimanapun ia tak akan membiarkan kekuasaan Mu’awiah di Suriah terganggu. Sesuai dengan itu, keduanya menepati dan memenuhi perjanjian itu.[3]
Dengan Bantuan orang-orang penting di Suriah ia meyakinkan rakyat yang tak mengetahui persoalan, bahwa tanggung jawab pembunuhan ‘Utsman terpikul pada ‘Ali, dan bahwa Ali memberi semangat dan melindungi para pengepung ‘Utsman. Sementara itu ia menggantungkan jubah ‘Utsman yang berlumur darah serta potongan jari-jari istrinya Na’ilah binti al-Farafishah di mimbar mesjid jamik Damsyik di mana sekitar 70.000 orang Suriah berikrar untuk membalaskan dendam atas darah ‘Utsman. Setelah berhasil membangkitkan emosi rakyat Suriah sehingga mereka bertekad bulat untuk mengorbankan nyawa, ia mendapatkan baiat mereka demi membalas dendam atas pembunuhan ‘Utsman, lalu ia bersiap untuk berperang. Sesudah itu ia memperlihatkan semua hal itu kepada Jarir lalu mengirimkannya kembali ke Kufah dalam keadaan malu.
Ketika Amirul Mukminin mendengar tentang hal ini dari Jarir, ia terpaksa bangkit menghadapi Mu’awiah. Ia memerintahkan Malik ibn Habib al-Yarbu’i untuk mengerahkan pasukan di lembah al-Nukhailah. Sehubungan dengan itu, orang dari sekitar Kufah datang ke sana dalam kelompok-kelompok besar sehingga jumlahnya melebihi 80.000 orang. Mula-mula Amirul Mukminin mengirimkan kontingen depan sebesar 8.000 di bawah komando Ziyad ibn an-Nadhr al-Haritsi dan pasukan 4.000 orang di bawah pimpinan Syuraih ibn Hani al-Haritsi ke Suriah. Setelah berangkatnya kontingen depan ini, Amirul Mukminin sendiri berangkat ke Suriah memimpin sisa tentara itu, pada hari Rabu 5 Syawal.
Setelah keluar perbatasan kota Kufah, ia mendirikan salat lohor dan setelah berkemah di Dair Abi Musa, (sungai) Nahr Nars, Qubat Qubbin, Babil, Dair Ka’b, Karbala’, Sabat, Baburasini, al-Anbar dan al-Jazirah ia tiba di ar-Riqah. Penduduk tempat ini menyukai ‘Utsman, dan di tempat inilah Simak ibn Makhtamah al-Asadi bertengkar dengan 800 orangnya. Orang-orang itu telah berangkat dari Kufah untuk bergabung dengan Mu’awiah setelah membelot dari Amirul Mukminin. Ketika melihat pasukan Amirul Mukminin, mereka membongkar jembatan Sungai Efrat supaya pasukan Amirul Mukminin tak dapat menggunakannya untuk menyeberang. Tetapi, dengan ancaman Malik ibn al-Harits al-Asytar an-Nakha’i mereka ketakutan, dan setelah berunding di antara sesamanya mereka memperbaiki lagi jembatan itu dan Amirul Mukminin melewatinya dengan tentaranya. Di seberang sungai itu ia melihat Ziyad dan Syuraih sedang berhenti di sana bersama pasukan mereka karena keduanya mengambil jalan darat. Ketika sampai di sana mereka dapati bahwa Mu’awiah sedang maju dengan tentaranya ke Sungai Efrat, dan karena berpikir bahwa mereka tidak akan mampu menghadapinya, mereka berhenti di sana sambil menunggu Amirul Mukminin. Ketika mereka memberikan alasan kepada Amirul Mukminin mengapa mereka berhenti di situ, Amirul Mukminin menerima alasannya lalu mengirimnya ke depan. Ketika mereka sampai di Sur ar-Rum, mereka mendapatkan bahwa Abu al-A’war as-Sulami (pihak Mu’awiyah) sedang berkemah di sana dengan tentaranya. Keduanya melaporkan hal ini kepada Amirul Mukminin, lalu ia mengirim Malik al-Haritsi al-Asytar untuk menyusul mereka sebagai komandan sambil mengingatkannya supaya tidak memulai pertempuran melainkan berusaha menasihati mereka dan memberitahukan kepada mereka keadaan yang sebenarnya sedapat mungkin.[4]
Ketika tiba di sana Malik al-Asytar berkemah agak jauh dari situ. Pertempuran mungkin akan meletus setiap saat, tetapi ia tidak mengganggu pihak lainnya dan tidak pula ia mengambil langkah yang mungkin memulai pertempuran. Tetapi Abu al-A’war menyerang secara tiba-tiba di malam hari yang atasnya mereka menghunus pedang untuk memukulnya mundur. Bentrokan itu terjadi beberapa lamanya tetapi akhirnya Abu al-A’war melarikan diri di malam hari. Karena pertempuran telah dimulai, segera setelah fajar, seorang komandan pasukan ‘Iraq, Hasyim ibn ‘Uqbah al-Mirqal az-Zuhri, datang menghadapinya di medan tempur. Dari pihak lain datang pula suatu kontingen, dan api pertempuran pun berkecamuk. Pada akhirnya Malik al-Asytar menantang Abu al-A’war bertarung dengannya, tetapi yang ditantang ini tak berani menghadapinya dan di sore hari Malik al-Asytar maju.dengan pasukannya. Keesokan harinya Amirul Mukminin sampai di sana dengan pasukannya lalu berangkat ke Shifffn bersama kontingen depannya dan pasukan-pasukan lainnya.
Mu’awiah telah lebih dahulu tiba di sana dan telah mendirikan basisnya. Ia juga telah menempatkan pengawal di Sungai Efrat dan telah mendudukinya. Ketika tiba di sana Amirul Mukminin menyampaikan kepadanya untuk menyingkirkan pasukan pengawalnya dari Sungai Efrat itu, tetapi Mu’awiah menolaknya. Karenanya pasukan ‘Iraq menghunus pedang lalu menyerang dan merebut tempat di sungai itu.
Setelah itu Amirul Mukminin mengutus Basytr ibn ‘Arnr al-Anshari, Sa’id ibn Qais al-Hamdani dan Syabats ibn Ribi’ at-Tamimi kepada Mu’awiah untuk memperingatkannya tentang akibat-akibat peperangan dan mengajaknya membaiat. Tetapi jawabannya adalah bahwa mereka sama sekali tidak akan mengabaikan darah ‘Utsman dan sekarang hanya pedang yang dapat menjadi perantara mereka.
Akibatnya, dalam bulan Zulhijah 36 H. kedua pihak memutuskan untuk berperang dan para prajurit dari masing-masing pihak keluar untuk berhadapan di medan. Yang memasuki medan dari pihak Amirul Mukminin adalah Hujr ibn ‘Adi al-Kindi, Syabats ibn Ribi’ at-Tamimi, Khalid ibn al-Mu’ammar, Ziyad ibn an-Nadhr al-Haritsi, Ziyad ibn Khashafah at-Taimi, Sa’id al-Hamdani, Qais ibn Sa’d al-Anshari, dan Malik al-Asytar an-Nakha’i. Dari pihak Suriah, ‘Abdur-Rahman ibn Khalid ibn Walid al-Makhzumi, Abu al-A’War as-Sulami, Habib ibn Maslamah al-Fihri, ‘Abdullah ibn Dzil-Kala’ al-Himyari, ‘Ubaidullah ibn ‘Umar ibn Khaththab, Syurahbil ibn Simth al-Kindi, dan Hamzah ibn Malik al-Hamdani.
Pertempuran yang terjadi selama 10 hari tersebut berujung Pada hari kesepuluh, orang-orang Amirul Mukminin menunjukkan moral yang sama. Di sayap kanan Malik al-Asytar memegang komando dan di sayap kiri ‘Abdullah ibn ‘Abbas. Serangan-serangannya berlangsung seperti tentara baru. Tanda-tanda kekalahan nampak pada orang Suriah, dan mereka sudah hendak meninggalkan medan dan melarikan diri. Pada saat itu lima ratus mashaf Al-Qur’an diangkat di ujung lembing tentara Mu’awiah, yang mengubah seluruh wajah pertempuran. Pedang-pedang berhenti bergerak, senjata penipuan berhasil, dan jalan terbuka bagi berkuasanya kebatilan.
Ketika semangat orang Suriah telah patah oleh pedang-pedang ganas orang ‘Iraq dan serangan-serangan yang tak berkeputusan pada Malam al-Harir menjatuhkan moralnya dan mengakhiri aspirasi-aspirasinya, ‘Amr ibn ‘Ash menyarankan siasat licik kepada Mu’awiah supaya mengangkat mashaf Al-Qur’an di ujung tombak dan berteriak-teriak mendesak untuk menggunakannya sebagai hakam seraya mengatakan, sebagian orang akan berusaha menghentikan peperangan dan sebagian lagi hendak meneruskannya. Dengan demikian maka kita memecah belah mereka dan akan dapat menangguhkan peperangan sampai pada kesempatan lain.” Sesuai dengan saran itu, mushaf-mushaf Al-Qur’an diangkat pada ujung tombak. Hasilnya, sebagian orang yang tak berpikir membuat huru-hara dan berseru serta menimbulkan perpecahan dan kekacauan di kalangan tentara, dan perjuangan kaum Muslim yang terkicuh mereda setelah hampir mencapai kemenangan. Tanpa memahami sesuatu, mereka mulai menjerit-jerit menghendaki keputusan Al-Qur’an atas peperangan.
Amirul Mukminin berusaha sekuat kuasanya untuk menyadarkan mereka, tetapi iblis telah berdiri di hadapan mereka berjubahkan mashaf Al-Qru’an. Ia tidak mengizinkan mereka untuk berbuat demikian, dan mereka memaksa Amirul Mukminin mengutus seseorang untuk memanggil Malik ibn Harits al-Asytar dari medan pertempuran.
Maka diputuskanlah bahwa setiap pihak harus menunjuk seorang hakam supaya mereka menyelesaikan persoalan kekhalifahan itu menurut Al-Qur’an. Dari pihak Mu’awiah telah diputuskan ‘Amr ibn ‘Ash. Dari pihaknya, orang-orang itu mengajukan Abu Musa al-Asy’ari. Melihat pilihan yang salah ini, Amirul Mukminin mengatakan, “Karena Anda tidak menerima pendapat saya tentang tahkim, sekurang-kurangnya sekarang Anda menyetujui untuk tidak mengangkat Abu Musa sebagai hakam. Ia bukan orang yang amanat. Di sini ada ‘Abdullah ibn ‘Abbas, dan di sini ada Malik al-Asytar. Pilihlah seorang di antara mereka.” Tetapi, mereka tak mau mendengarkannya, dan bersikeras pada Abu Musa. Amirul Mukminin akhirnya mengatakan, “Nah, Iakukanlah sesuka Anda. Tidak lama lagi Anda akan memakan tangan Anda sendiri karena kebatilan Anda.”
Setelah pengangkatan hakam, setelah surat persetujuan ditulis, imbuhan “Amirul Mukminin” pada nama ‘Ali ibn Abi Thalib juga tertulis. ‘Amr ibn ‘Ash mengatakan, “Ini harus dihapus. Apabila kami memandangnya sebagai Amirul Mukminin, mengapa peperangan ini harus dilakukan?” Mula-mula Amirul Mukminin menolak untuk menghapusnya, tetapi setelah mereka sama sekali tak mau menerima, ia menghapusnya seraya mengatakan, “Peristiwa ini sama dengan peristiwa di Hudaibiah, ketika orang-orang kafir bersikeras bahwa kata ‘Rasulullah’ bersama nama Nabi Muhammad harus dihapus, dan Nabi menghapusnya.” Mendengar ini ‘Amr ibn ‘Ash marah dan mengatakan, “Apakah Anda memperlakukan kami sebagai orang kafir?” Amirul Mukminin berkata. “Pada hari apa Anda mempunyai suatu hubungan dengan kaum mukmin dan kapan Anda telah menjadi pendukung mereka?”
Bagaimanapun, setelah penyelesaian ini, orang-orang bubar. Setelah bermusyawarah, kedua hakam memutuskan bahwa dengan menyingkirkan ‘Ali maupun Mu’awiah dari kekhalifahan, rakyat akan diberi hak memilih siapa saja yang mereka sukai.
Ketika tiba saat pengumumannya, diadakan suatu pertemuan di Daumatul Jandal. Yang terletak antara ‘Iraq dan Suriah, kemudian kedua hakam itu tiba pula di sana untuk memaklumkan keputusan tentang nasib umat Islam. Secara licik, ‘Amr ibn ‘Ash berkata kepada Abu Musa, “Saya merasa tak pantas mendahului Anda. Anda lebih tua dalam tahun dan usia, karena itu Andalah yang mula-mula menyampaikan maklumat itu.” Abu Musa menyerah pada kata-kata pujiannya lalu keluar dengan bangganya serta berdiri di hadapan hadirin. Kepada mereka ia berkata, “Wahai kaum Muslim, kami telah besama-sama menyelesaikan bahwa ‘Ali maupun Mu’awiah harus dimakzulkan dan hak memilih khalifah diserahkan kepada rakyat. Mereka akan memilih siapa saja yang mereka kehendaki.” Setelah mengatakan ini, ia duduk.
Sekarang giliran ‘Amr ibn ‘Ash, lalu ia berkata, “Hai, kaum Muslim. Anda telah mendengar bahwa Abu Musa telah menyingkirkan ‘Ali ibn Abi Thalib. Saya pun menyetujuinya. Tentang Mu’awiah, tidak ada persoalan akan menyingkirkan dia. Karena itu saya tetapkan dia pada kedudukan itu.”
Setelah ia mengatakan ini, serentak terdengar teriakan di mana-mana. Abu Musa berteriak sekuat-kuatnya bahwa itu tipu daya licik, seraya mengatakan kepada ‘Amr ibn ‘Ash, “Engkau telah menipu, dan ibaratmu adalah seperti anjing yang apabila kau mati sesuatu ia akan menjulurkan lidah, apabila engkau tinggalkan ia akan menjulurkan lidah.” ‘Amr ibn ’Ash menjawab, “Ibaratmu adalah seperti keledai yang dimuati buku.” Bagaimanapun, siasat licik ‘Amr ibn ‘Ash efektif dan kaki goyah Mu’awiah dikuatkan kembali.
Perpecahan umat itu kemudian melahirkan kelompok radikal yang dipimpin Hurkus, komandan pasukan Ali. Hurkus memandang Ali dan Muawiyyah telah melanggar hukum Tuhan. Karena itu, ia bersama pengikutnya menyatakan keluar dari barisan Ali dan tidak memihak barisan Muawiyyah. Karena itu, kelompok garis keras itu kemudian dijuluki kaum Khawarij, dengan semboyannya yang terkenal: la hukma ilallah atau tiada hukum melainkan hukum Allah.[5]
Untuk menegakkan keyakinannya, kelompok Khawarij merencanakan pembunuhan terhadap tiga pemimpin: Ali, Muawiyyah, dan Amru. Tapi, hanya pembunuhan Ali yang berhasil dilaksanakan. Sayyidina Ali tewas di tangan Abdurrahman pengikut Khwarij pada 661. Sedangkan Muawiyyah dan Amru bin Ash lolos dari upaya pembunuhan itu.
C. MASA KEKUASAAN KHALIFAH MU’AWIYAH
Sepeninggal Ali bin Abu Thalib, gubernur Syam tampil sebagai penguasa Islam yang kuat. Masa kekuasaannya merupakan awal kedaulatan Bani Umayah. Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb adalah pembangun dinasti Umayah dan sekaligus menjadi khalifah pertama. Ia memindahkan ibukota  kekuasaan  Islam   dari
Kufah ke Damaskus.Keberhasilan Muawiyah dalam meraih jabatan khalifah dan membangun pemerintahan Bani Umayah bukan hanya akibat dari kemenangan diplomasi di Shiffin dan terbunuhnya Khalifah Ali saja, melainkan merupakan hasil akhir dari peristiwa-peristiwa politik yang dihadapinya dan karir politiknya yang
cukup cemerlang.
Jika dirunut secara kronologis, keberhasilan Muawiyah dilatar-belakangi oleh beberapa faktor dan peristiwa politik sebagai berikut.
·        Pertama, sejak masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab, kepribadian dan kematangan karir politiknya sudah nampak. Pada masa itu, ia diangkat menjadi gubernur Syam menggantikan Abu Ubaidah dan saudaranya, Yazid bin Muawiyah, yang meninggal dunia akibat serangan wabah penyakit yang sangat ganas. Kepercayaan Umar terhadap kematangan politik Muawiyah ini begitu nampak sejak awal pengangkatan dirinya.
·        Kedua, pada awal pemerintahan Ali bin Abu Thalib, Muawiyah diminta untuk meletakkan jabatan, tetapi ia menolaknya. Bahkan ia tidak mengakui kekhalifahan Ali dan memanfaatkan peristiwa berdarah yang menimpa Usman bin Affan untuk menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan menuduh Ali sebagai orang yang mendalangi pembunuhan Usman, jika Ali tidak dapat menemukan dan menghukum pembunuh yang sesungguhnya. 
·        Ketiga, desakan Muawiyah tersebut mengakibatkan terjadinya pertempuran sengit antara pihaknya dan pihak Ali sebagai khalifah di kota tua Shiffin yang berakhir dengan proses tahkim (arbitrase) pada tahun 37 H. Dalam pertempuran yang memakan waktu berhari-hari ini, menurut catatan al-Thabari (V/48), sebenarnya pihak Muawiyah sudah terdesak dan merasa khawatir akan kalah. Pada saat inilah timbul gagasan dari ‘Amr bin al-‘Ash untuk menghentikan perang sementara dengan cara mengangkat mushaf al-Quran. Gagasan ini disambut baik oleh Muawiyah. Peristiwa ini kemudian berlanjut pada terjadinya perundingan damai melalui proses tahkim.

D. SISTEM PEMERINTAHAN PADA MASA KHALIFAH MU’AWIYAH
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayah ini, sistem pemerintahan Islam yang dulunya bersifat demokrasi berubah menjadi monarki heredetis (kerajaan turun temurun). Suksesi kepemimpinan secara turun   temurun   dimulai ketika   Muawiyah  mewajibkan  seluruh   rakyatnya   untuk
menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. [6]

            Perintah ini tentu saja memberikan sinyal awal bahwa kesetiaan terhadap Yazid merupakan bentuk pengokohan terhadap sistem pemerintahan yang turun temurun telah coba dibangun oleh Muawiyah. Tidak ada lagi suksesi kepemimpinan berdasarkan asas musyawarah (syuro) dalam menentukan seorang pemimpin baru. Muawiyah telah merubah model kekuasaan dengan model kerajaan yang membenarkan regenerasi kekuasaan dengan cara memberikan kepada putera mahkota. Orang-orang yang berada di luar garis keturunan Muawiyah, secara substansial tidak memiliki ruang dan kesempatan yang sama untuk memimpin pemerintah umat Islam, karena sistem dinasti hanya membenarkan satu kebenaran bahwa suksesi hanya bisa diberikan kepada keturunan dalam dinasti tersebut. 

            Tradisi bentuk khilafah konfederasi yang dicanangkan oleh Rasulullah pada tahun 622 M (awal periode Madinah), terus berlanjut hingga masa Dinasti Umayah sejak tahun 661 M. Bedanya, Rasulullah menerapkan bentuk konfederasi kabilah, sedangkan Dinasti Umayah menerapkan konfederasi propinsi. Untuk menangani banyaknya propinsi yang ada, maka khalifah ketika itu, Muawiyah bin Abu Sofyan, mencoba menggabung beberapa wilayah menjadi satu propinsi. Wilayah-wilayah ini terus berkembang sejalan dengan keberhasilan program futuhat (ekspansi). Setiap gubernur memilih amir atas jajahan yang berada dalam kekuasaannya, dan para amir tersebut bertanggung jawab langsung kepada khalifah. Konsekuensinya, para amir berfungsi sebagai khalifah di daerah. Nilai politis kebijakan ini adalah upaya sentralisasi wilayah kekuasaan, mengingat potensi daerah-daerah tersebut dalam menopang jalannya pemerintahan, baik dari sudut pandang ekonomi, maupun keamanan dan pertahanan nasional. Pada masa Hisyam bin Abdul Malik, gubernur mempunyai wewenang penuh dalam hal administrasi politik dan militer dalam propinsinya, namun penghasilan daerah ditangani oleh pejabat tertentu (sahib al-kharaj) yang mempunyai tanggung jawab langsung pada khalifah.

            Dari segi cara hidup, para khalifah Dinasti Umayah telah meninggalkan pola dan cara hidup Nabi Muhammad Saw dan al-Khulafa al-Rasyidun. Mereka menjaga jarak dengan masyarakat, dengan tinggal di istana yang dikelilingi oleh para pengawal. Baitul Mal yang selama masa pemerintahan sebelumnya difungsikan sebagai dana swadaya masyarakat yang difungsikan untuk kepentingan rakyat, pada masa Umayah telah berubah fungsi, kecuali ketika pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, kas negara adalah milik penguasa dan keluarganya. Rakyat hanya wajib untuk menyetor pajak tanpa mempunyai hak menanyakan penggunaannya. Pada masa ini pajak negara dialihkan menjadi harta pribadi para khalifah. Pendapatan pajak diperoleh dari, pajak tanah, jizyah, zakat, cukai dan pajak pembelian, upeti yang harus dibayar menurut perjanjian, seperlima ghonimah, fai’, impor tambahan hasil bumi, hadiah festival, dan upeti anak dari bangsa barbar.[7] 






BAB III
PENUTUP
Kesimpulan,
Perang Shiffin  (Mei-Juli 657 Masehi) terjadi semasa zaman fitnah besar atau perang saudara pertama orang Islam dengan pertempuran utama terjadi dari tanggal 26-28 Juli. Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam).
           1 Shafar tahun 37 Hijriah, Perang Shiffin meletus. Perang ini terjadi antara pasukan Imam Ali melawan pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan. Setelah wafatnya Khalifah Utsman bin Affan, rakyat Madinah membaiat Imam Ali dan mengangkat beliau sebagai khalifah. Namun, Muawiyah, seorang Gubernur di Damaskus, menolak menerima kepemimpinan Imam Ali dan melakukan perlawanan bersenjata. Awalnya, Imam Ali berusaha melakukan perundingan demi mencegah pertumpahan darah di antara sesama muslim.
Namun, Muawiyah  tetap membangkang dan pecahlah perang di sebuah daerah bernama Shiffin di tepi sungai Furat, Irak. Ketika pasukan Imam Ali hampir mencapai kemenangan, penasehat Muawiyah bernama Amru bin Ashmemerintahkan pasukannya agar menancapkan Al-Quran di tombak mereka dan menyerukan gencatan senjata atas nama Al-Quran. Imam Ali yang memahami tipuan ini memerintahkan pasukannya agar terus bertempur, namun sebagian kelompok menolak. Kelompok ini kemudian dikenal sebagai kelompok Khawarij. Atas desakan kelompok Khawarij pula, perang dihentikan dan diadakan perundingan antara kedua pihak. Dalam perundingan ini, delegasi Muawiyah melakukan tipuan. Akibatnya, kekhalifahan kaum muslimin direbut dari tangan Imam Ali dan jatuh ke tangan Muawiyah.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Mufrodi,Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab,Logos Wacana Ilmu,Jakarta,1997
Al-Suyuthi.. Tarikh Khulafa: Sejarah Para Penguasa Islam (Terjemah dari Tarikh al-Khulafa). Pustaka al-Kautsar. Jakarta, 2001
Yunus, Mahmud.Sejarah Pendidikan Islam. Hida Karya Agung. Jakarta. 1981



[1] Ali Mufrodi,Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab(Logos Wacana Ilmu,Jakarta,1997)hlm.64
[3] ibid
[4] Al-Suyuthi.. Tarikh Khulafa: Sejarah Para Penguasa Islam (Terjemah dari Tarikh al-Khulafa)(Pustaka al-Kautsar. Jakarta, 2001)hlm.89
[6] Yunus, Mahmud.Sejarah Pendidikan Islam(Hida Karya Agung. Jakarta. 1981)hlm.145
[7] Ibid,hlm.146

Monday, May 9, 2011

Profesi Keguruan - Kemampuan Profesional Guru Dalam Mengelola Program Pembelajaran Dan Pengelolaan Kelas


BAB II
PEMBAHASAN
A. Profesionalisme Guru
            Professionalisme berasal dari kata profesi. Istilah profesi menurut M. Arifin(1989) berasal dari kata profession mengandung arti sama dengan occopation yaitu suatu pekerjaan yang memerlukan keahian khusus yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus. Menurutnya profesi sebagai bidan keahlian yang khusus untuk menangani lapangan pekerjaan tertentu yang membutuhkannya.[1]
            Ada beberapa alasan rasional dan empirik sehingga tugas mengajar disebut sebagai profesi, yaitu:
1)      Bidang tugas guru memerlukan perencanaan yang mantap, pelaksanaan mantap, dan pengendalian yang baik.
2)      Bidang pekerjaan mengajar memerlukan dukungan ilmu teoritis pendidikan dan mengajar.
3)      Bidang pendidikan ini memerlukan waktu yang lama dalam masa pendidikan dan latihan, sejak pendidikan dasar sampai pendidikan tenaga keguruan.
Profesionalisme dalam bidang pendidikan merupakan seperangkat tugas dan fungsi dalam lapangan pendidikan berdasarkan keahlian. Para guru profesional memiliki kompetensi keguruan berkat pendidikan atau latihan di lembaga pendidikan guru dalam jangka wktu tertentu.
B. Program Pembelajaran
            Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran “.(Oemar Hamalik,1995:57)[2]
1. Pengajaran sebagai Suatu Sistem
            Pengajaran sebagai suatu sistem merupakan suatu pendekatan mengajar yang menekankan hubungan secara sistemik antara berbagai komponen pengajaran. Hubungan sistemik mempunyai arti bahwa setiap komponen yang terpadu dalam suatu pengajaran sesuai dengan fungsinya saling berhubungan antara satu sama lain dan membentuk kesatuan. [3]
            Pengajaran mempunyai beberapa komponen, yaitu komponen: tujuan pengajaran, bahan ajaran, metode belajar-mengajar, media, dan evaluasi pengajaran. Pengajaran yang bercirikan sistem menekankanketerpaduan antara keseluruhan komponen, komponen yang satu berhubungan erat dengan komponen lainnya.
2. Perencanaan Program Pengajaran atau Pembelajaran
a)                Program untuk Jangka Waktu Agak Panjang
      Dalam program belajar semester satu tahun ajaran terbagi atas  dua semester, maka dalam program caturwulan satu tahun terbagi atas tiga caturwulan. Pada setiap akhir caturwulan diadakan evaluasi hasil belajar yang biasa disebut tes sumatif.
      Hasil evaluasi tersebut sampai batas tertentu dapa dipakai sebagai tolak ukur keberhasilan pembelajaran yang dilakukan oleh guru pada caturwuulan tersebut.
Isi dalam suatu program caturwulan meliputi:
·        Tujuan
·        Pokok/ satuan bahasan
·        Metode mengajar
·        Media dan sumber belajar
·        Evaluasi pembelajaran
·        Waktu
·        Lain-lain
b)      Program untuk Jangka Waktu Singkat
      Program caturwulan dapat dijadikan pegangan untuk mengajar di kelas, tetapi baru merupakan pegangan bagi pelaksanaan mengajar selama satu caturwulan. Untuk pegangan mengajar di dalam kelas. Dari program caturwulan ini masih perlu dijabarkan lagi program-program untuk jangka waktu yang pendek, misalnya untuk setiap pokok/satuan bahasan. Program untuk setiap pokok/satuan bahasan ini pada dasarnya merupakan program mingguan atau harian, dan dewasa ini lebih dikenal dengan nama satuan pelajaran.
      Isi dan alokasi waktu setiap satuan pelajaran tergantung pada lusa/sempitnya pokok/satuan bahasan yan dicakupnya.
      Komponen-komponen isi dari satu-satuan pelajaran tidak banyak berbeda dengan program caturwulan. Perbedaannya adalah pada satuan pelajaran tujuan dan bahan ajaran disusun lebih rinci dan spesifik, metode mengajar dijelaskan dalam bentuk yang lebih konkret berupa proses bagaimana guru menyampaikan pelajaran/mendorong siswa belajar dan bagaimana siswa belajar. Pada evaluasi, alat evaluasinya sudah tersusun.
C. Pengelolaan Kelas
1. Pengertian Pengelolan Kelas
            Pengelolaan  kelas dalam bahasa Inggris diistilahkan sebagai Classroom Management, itu berarti istilah pengelolaan identik dengan manajemen. Pengertian pengelolaan atau manajemen pada umumnya yaitu kegiatan- kegiatan meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan, dan penilaian.
            Wilford A. Weber (James M. Cooper , 1995 : 230) mengemukakan bahwa Classroom management is a complex set of behaviors the teacher uses to establish and maintain classroom conditions that will enable students to achieve their instructional objectives efficiently – that will enable them to learn.
            Pengelolaan Kelas adalah berbagai kegiatan yang sengaja dilakukan oleh guru dengan tujuan meciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagai terjadinya proses belajar mengajar. Sedangkan untuk pengajaran adalah segala jenis kegiatan yang dengan sengaja kita lakukan dan secara langsung dimaksudkan untuk mencapai tujuan- tujuan khusus pengajaran.
            Jadi, pengelolaan kelas adalah suatu upaya memberdayagunakan potensi kelas yang ada seoptimal mungkin untuk mendukung proses interaksi edukatif mencapai tujuan pembelajaran.
2. Beberapa Masalah Pengelolaan Kelas
            Pengelolaan kelas bukanlah hal yang mudah dan ringan jangankan bagi guru yang baru menerjunkan diri kedalam dunia pendidikan, bagi guru yang sudah profesionalpun sudah merasakan betapa sukarnya mengelola kelas, namun begitu tidak pernah guru merasa jemuh dan kemudian jera mengelola kelas setiapkali mengajar dikelas.
            Gagalnya seorang guru mencapai tujuan pengajaran sejalan dengan ketidak mampuan guru mengelola kelas, dari kegagalan itu adalah prestasi, belajar siswa renda, tidak sesuai dengan standar atau batas ukuran yang ditentukan karena itu,pengelolaan kelas merupakan kopetensi guru yang sangat penting di kuasai oleh guru dalam kerangka keberhasilan proses belajar – mengajar.
3. Penataan Ruang Kelas
            Agar terciptanya suasana belajar yang mengairahkan,perlu diperhatikan pengaturan, penataan ruang kelas, belajar penyusunan dan pengaturan ruang belajar hendaknya memungkinkan anak duduk berkelompok dan memudahkan guru bergerak secara leluasa untuk membantu siswa dalam belajar. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
  • Ukuran dan bentuk kelas
  • Bentuk serta ukuran bangku dan meja anak didik
  • Jumlah anak didik dalam kelas
  • Jumlah anak didik dalam setiap kelompok
  • Jumlah kelompok dalam kelas
  • Komposisi anak didik dalam kelompok
4. Pengaturan Siswa
Pengaturan siswa dikelas terutama berhubungan dengan masalah bagaimana pula pengelompokan siswa guna guna menciptakan lingkungan belajar yang aktif dan kreatif, sehingga kegiatan belajar yang penuh kesenangan dan bergairah dapat bertambah dalam waktu yang relatif lama.
Kegiatan belajar mengajar dengan pendekatan kelompok menghendaki peninjauan pada ospek individual siswa penempatan siswa memerlukan pertimbangan pada aspek postur tubuh siswa dimana menempatkan siswa yang mempunyai tubuh tinggi atau rendah, dimana menempatkan siswa yang memiliki kelainan penglihatan/pendengaran, siswa yang cerdas, yang bodoh yang pendiam, yang lincah dan suka berbicara, suka membuat keributan yang suka menggangu temannya,dan sebagainya, sebaiknya dipisah agar kelompok tidak di dominasi oleh satu kelompok tertentu.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan,
Pengajaran sebagai suatu sistem merupakan suatu pendekatan mengajar yang menekankan hubungan secara sistemik antara berbagai komponen pengajaran.
            Pengajaran mempunyai beberapa komponen, yaitu komponen: tujuan pengajaran, bahan ajaran, metode belajar-mengajar, media, dan evaluasi pengajaran. Pengajaran yang bercirikan sistem menekankanketerpaduan antara keseluruhan komponen, komponen yang satu berhubungan erat dengan komponen lainnya.
            Pengelolaan  kelas dalam bahasa Inggris diistilahkan sebagai Classroom Management, itu berarti istilah pengelolaan identik dengan manajemen. Pengertian pengelolaan atau manajemen pada umumnya yaitu kegiatan- kegiatan meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan, dan penilaian.




Daftar pustaka
Syafaruddin dan Irwan Nasution.Manajemen Pembelajaran.Quantum Teaching.Jakarta.2005.
R. Ibrahim dan Nana.Perencanaan Pengajaran.Rineka Cipta.Jakarta.2010.
Syaiful Bahri. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif: Suatu Pendekatan Teoritis Psikologis. Rineka Cipta.Jakarta.2010
http://gurulia.wordpress.com/2009/03/25/pengertian-pembelajaran/










[1] Syafaruddin dan Irwan Nasution.Manajemen Pembelajaran(Quantum Teaching.Jakarta.2005)hlm.27
[2] http://gurulia.wordpress.com/2009/03/25/pengertian-pembelajaran/
[3] R. Ibrahim dan Nana.Perencanaan Pengajaran(Rineka Cipta.Jakarta.2010)hlm.51

Thursday, May 5, 2011

Filsafat Umum - Sistem-Sistem Pemikiran Filsafat Tentang Manusia Dan Masyarakat

by Hidayah
BAB I
PENDAHULUAN
Filsafat merupakan salah satu bidang yang selalu menusuk nurani kehidupdan sesuai dengan zamannya. Filsafat Manusia merupakan bagian internal dari filsafat sistematis yang selalu mempertanyakan kodrat manusia. Di bidang ini pun terdapat pemikiran dan pemahaman yang selalu berkembang. Di dalam bidang filsafat, pemahaman manusia bisa ditelusuri berdasar pendapat dan keyakinan para filsuf yang mencoba menginterpretasi-kan kehidupan pada masanya, menyajikan pemahaman yang bisa membantu mem-bimbing kehidupan.
Manusia yang semula begitu percaya bahwa dirinya mampu mengarahkan semesta dan kehidupan, akhirnya harus mengakui bahwa dirinya hanyalah merupakan bagian dari suatu kesatuan yang berada di luar genggamannya. Manusia menjadi tidak tahu harus mencari jawaban di mana terhadap pertanyaan mengenai pemahamannya terhadap kenyataan yang melandanya. Dia semakin tidak tahu harus mulai dari mana kalau mau menemukan dan menelusuri benang merah kehidupan dan kenyataan di mana ia hidup. Terlalu banyak benang merah yang saling terkait menjadi benang ruwet yang membuat putus asa bagi usaha untuk merunutnya.
Manusia menjadi tidak berdaya untuk mengenali nilai dan maknanya. Dari satu pihak, perkembangan dunia dengan  sistemnya dewasa ini tidak begitu saja membiarkan manusia menarik diri dari kesibukan sehari-hari untuk merenungkan dirinya kembali dengan tenang. Namun, dari lain pihak, manusia merasakan urgensi tuntutan untuk menentukan nilai-nilai kemanusiaan agar mempunyai pedoman bagi arah yang ditujunya.
Pada masa selanjutnya banyak aliran yang mencoba mendefinisikan seperti apa mannusia itu, banyak paham yang dianut oleh manusia berdasarkan kebiasaan dirinya. Pada bagian selanjutnya akan dibahas lebih jauh paham apa saja yang ada dalam kehidupan manusia dan masyarakatnya.


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Hubungan Antara Individu dan Masyarakat
Manusia sebagai pribadi bukanlah pelengkap penderita yang hanya membiarkan dirinya diserbu dan dijejali oleh macam-macam hal yang berseliweran di sekitarnya. Ciri khas manusia adalah sifat kreatifnya yang begitu produktif di dalam menciptakan sesuatu yang baru. Apa yang dihayati secara pribadi bukanlah sekadar fotokopi dari apa yang telah ada dan pernah dimunculkan oleh orang lain atau masyarakat. Pembaruan yang dihayati secara pribadi, kemudian ditawarkan kepada masyarakat, sehingga masyarakat pun tidak mandul, melainkan bergerak maju dengan seluruh daya kreatifnya.
Setiap anggota masyarakat merupakan bagian integral yang unik dari masyarakat, yang tidak dapat digeser, diganti dan diwakili oleh individu lain. Masing-masing anggota menyumbangkan diri serta kemampuan mereka didalam membentuk masyarakat yang konkret dan riil.
Masyarakat adalah rahim yang melahirkan individu, sebaliknya masyarakat hanya muncul sebagai akibat dari interaksi antara anggota-anggotanya. Masyarakat berfungsi sebagai keseluruhan yang menyatukan dan menstimulasi kreativitas mereka dengan bebas dan bertanggung jawab, sehingga mereka bisa menyumbangkan prestasi gemilang kepada masyarakat.
Dalam pengertian tertentu boleh dikatakan bahwa masyarakat adalah objek dari anggota individual, dan anggota individual merupakan pencipta serta subjek yang memberi arti dan adanya bagi masyarakat. Sehingga menjadi jelas bahwa manusia tidak mungkin hidup terlepas dari masyarakatnya. Sejak kecil dia dibesarkan dan dididik di dalam masyarakat manusia yang memungkinkannya untuk hidup dan berkembang menjadi manusia dewasa dan utuh. Dari satu pihak, individu menjadi manusia berkat masyarakat dan dari lain pihak, masyarakat hanya tercipta berkat komunikasi intensif antar anggota-anggotanya.[1]
B.  Materialisme
Hegel merupakan tokoh menonjol yang memiliki banyak murid pada abad ke-19. Ia menguraikan filsafatnya dengan menggunakan metode dialektik. Dengan metode dialektik ia menganalisis bahwa dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat terjadi dialektika. Kalau ada suatu kegiatan yang ekstrim kiri misalnya, maka akan timbul suatu kegiatan atau tindakan yang bertentangan dengan tindakan semula ekstrim kanan, yang pada akhirnya akan menimbulkan suatu kompromi, yang memudahkan antara ekstrim kiri dan ekstrim kanan.[2]
Pengikut-pengikut Hegel ini terpecah menjadi dua pandangan, yaitu pengikut Hegel beraliran kanan, di mana mereka membela ajaran agama Kristen, dan yang lainnya ialah pengikut Hegel beraliran kiri yang memusuhi ajaran agama, yang disebut Materialisme, dengan para pengikutnya, di antaranya Feuerbach, Marx, dan Engels.[3]
Aliran filsafat materialisme memandang bahwa realita seluruhnya adalah materi belaka. Tokoh aliran ini (Materialisme Alam) adalah Ludwig Feuerbach (1804-1872) sebagai pengikut Hegel, mengemukakan pendapatnya, bahwa baik pengetahuan maupun tindakan berlaku adagium, artinya terimalah dunia yang ada, bila menolak agama atau metafisika. Satu-satunya asas kesusilaan adalah keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan. Dan untuk mencari kebahagiaan manusia harus ingat akan sesamanya.
Menurut Karl Marx (1818-1883), tugas seorang filosof adalah bukan untuk menerangkan dunia, tetapi untuk mengubahnya. Hidup manusia itu ternyata ditentukan oleh keadaan ekonomi. Dari segala hasil tindakannya: ilmu, seni, agama, kesusilaan, hukum, politik. Semuanya itu hanya endapan dari keadaan itu, sedangkan keadaan itu  sendiri ditentukan benar-benar dalam sejarah.
Dalam pandangan materialisme, baik yang kolot maupun yang modern, manusia itu pada akhirnya adalah benda, seperti halnya kayu dan batu, akan tetapi materialisme mengatakan  bahwa pada akhirnya manusia adalah sesuatu yang material dengan kata lain materi, betul-betul materi. Menurut bentuknya manusia memang lebih unggul ketimbang sapi, batu, atau pohon, tetapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi. Dilihat dari segi keberadaannya juga sama.[4]
C.  Spiritualisme
Spiritualisme merupakan sebuah istilah dengan kaitan filosofis dan religius. Secra filosofis, kadang istilah ini digunakan sebagai sinonim Idealisme. Dalam agama, adakalanya istilah ini mengacu kepada penjelmaan roh.
1.    Beberapa Penggunaan
a.       Dalam filsafat, Spiritualisme merupakan gerakan reaksi melawan Positivisme Comte di Perancis abad ke-19. Gerakan ini dirintis sebagian besar oleh Victor Cousin bersama dengan Royer-Collard sebagai pendahulu.
b.      Istilah itu juga mengacu pada gerakan yang menganut minat terhadap hubungan dengan ‘roh-roh orang mati”, yang mulai di Amerika Serikat tahun 1848, yang mendirikan pusatnya di Washington, D.C., tahun 1893.
c.       Italia istilah itu mengacu pada gerakan abad ke-20, yangb dikenal sebagai Spiritualisme Kristen, yang berawal dari Gentile maupun eksistensialisme religius.
2.    Spiritualisme Metafisik
Spiritualisme metafisik memuat beberapa pengertian:
-         Pandangan bahwa realitas terakhir, yang mendasari (atau landasan realitas) adalah roh atau jiwa dunia yang a) meresapi alam semesta pada semua tingkat kegiatannya b) adalah sebab aktivitas, tata, arah alam semesta; c) berguna sebagai satu-satunya penjelasan lengkap dan rasional eksistensi alam semesta.
-         Pandangan bahwa yang ada hanyalah Roh Absolut (dan roh-roh terbatas seperti manusia) dan semua lainnya merupakan produk Roh Absolut.[5]
3.    Spiritualisme dalam Pengaruh Materialisme
Pengaruh materialisme kini merambah pada ranah agama, aroma orientasi bisnisisasi agama telah menjadi tren umum, untuk tidak mengatakan membiasa, tidak hanya melalui tayangan di layar kaca, tetapi juga melalui kegiatan religius dan "pesta rohani" yang marak belakangan ini, yang justru membuktikan bahwa agama sering ditampilkan melalui pertimbangan kepentingan konsumen/pasar daripada pada sisi esensi dan nilai profetik (pembebasan, pencerahan) kesadaran umat. Tak heran sinetron dan tayangan religius yang bernuansa "menakut-nakuti" lebih digemari dan dominan daripada tampilan dan kegiatan agama yang memberi pencerahan dan penyadaran umat.
Di tengah semakin tingginya kebutuhan manusia mencari sandaran kepastian dan ketenangan jiwa menghadapi perubahan tantangan hidup, agama akhir-akhir ini justru menampakkan wajahnya yang keras dan jahat. Sehingga jurang kesenjangan semakin dalam antara pesan esensial-universal agama sebagai penyampai kabar damai, kasih dan rahmat bagi semesta alam, dengan praktik nyata manusia beragama yang menyenangi kekerasan dan intoleransi pada sesamanya.
Hasil pemahaman pribadi, kelompok, organisasi menjumpai teks suci dipaksakan menjadi milik publik, bukan sebaliknya, nilai-nilai universal agama (kedamaian, kerukunan, kasih, toleran, inklusif, dst.) dalam teks suci yang mestinya menjadi norma publik dan menjiwai pengalaman atau pengalaman pribadi. Keterbalikan ini mengakibatkan relasi antar-agama yang terbangun hanya sampai pada "kami" dengan "mereka" belum beranjak menjadi "tentang kita".
Pengaruh terjauh dari materialisme ini adalah semakin tersingkirnya ruang nilai-nilai yang bersifat transenden (non-materi) yang sebenarnya juga menjadi kebutuhan dasar batin dan jiwa manusia. Sebab, tanpanya keseimbangan hidup manusia akan timpang-untuk tidak mengatakan kekeringan-kebutuhan itu adalah spiritualitas.
Spiritualitas yang memperkaya keimanan dapat dicapai melalui kesediaan diri melihat realitas keduniawian secara relatif, hanya sebagai jembatan untuk jalan yang lebih panjang dan abadi setelah mati. Dalam hitungan sejarah agama yang bersandar pada wahyu secara tradisional telah mengalami masa pencerahan berkali-kali agar lebih menyapa pada tuntutan manusia modern. Namun di sisi lain, perkembangan modernisme semakin hari justru menggerus pesan dasar dan nilai terdalam dari agama yang ingin memberi arah kepastian keselamatan, membekali jiwa manusia menghadapi hidup dan setelah hidup secara harmoni.[6]
D.  Individualisme
Individualisme berarti sifat-sifat khusus tiap-tiap orang (individium) hendaknya diperhatikan. Ini merupakan lawan dari sosialisme dan kolektivisme. Tiap-tiap orang mempunyai watak dan sifat yang khas yang dibentuk oleh kemauannya sendiri yang bebas dan oleh keadaan sejarah. Tiap-tiap orang langsung bertanggung jawab terhadap Tuhan. Secara negatif menangkal keterikatan manusia dengan masyarakat (individualistle).[7]
Individualisme dilihat sebagai penekanan yang berlebihan atas individu sedemikian rupa, sehingga hubungan dengan masyarakat yang lebih besar disepelekan. Dalam filsafat sosial, individualisme merupakan pandangan mengenai masyarakat yang semakin menekankan nilai individu, sehingga masyarakat menjadi semata-mata jumlah individu-individu, tetapi tidak merupakan suatu keseluruhan atau kesatuan yang nyata.[8]
John Stuart Mill (1805-1873) adalah pendukung tegar individualisme. Kebebasan individu, menurut Mill, adalah nilai tertinggi yang dimiliki manusia dan tidak dapat ditawar. Kesejahteraan dan kebebasan individu, yang keberlangsungannya sangat mudah terancam oleh campurtangan masyarakat, merupakan keprihatinannya yang utama. Secara singkat Mill merumuskan hubungan antara individu dan masyarakat sebagai berikut:
“Prinsipnya adalah: pertama, bahwa individu tidak bertanggung jawab kepada masyarakat atas tindakan-tindakannya sejauh tindakan-tindakan itu hanya menyangkut dirinya sendiri dan tidak mengenai orang lain. Kedua, bahwa terhadap tindakan-tindakan yang merugikan kepentingan orang lain, pelaku bertanggung jawab dan bisa dikenai sangsi sosial atau sangsi hukum bila masyarakat memandang bahwa salah satu dari kedua alternative tersebut merupakan sarana bagi perlindungan hak-hak oang lain.”
Maka, menurut Mill, setiap orang mempunyai hak atas cara hidup, berpendapat, dan bertindak yang berbeda dari tradisi dan kebiasaan orang lain.
Menurut Thomas Hobbes (1588-1679) masyarakat bukanlah muncul berdasarkan kodrat, tetapi hanyalah ciptaan manusia sendiri yang saling mengadakan kontrak sosial untuk membentuk masyarakat tertentu. Maka sifat-sifat dan tindakan masyarakat dapat ditelusuri kembali dan dijelaskan seluruhnya oleh sifat-sifat dan tindakan-tindakan individu-individu yang membentuk masyarakat.[9]
E.   Altruisme
Altruisme berasal dari bahasa Perancis yaitu Autrui, dalam bahasa Inggris Altruism, dan dalam bahasa Latin Alter yang berarti lain atau yang lain. Kata ini diangkat oleh Auguste Comte, filsuf Perancis. Secara epistimologis, altruisme berarti: 1. Loving others as oneself (Mencintai orang lain seperti dirinya sendiri). 2. Behaviour that promotes the survival chances of others at a cost to ones own (Perilaku yang mempromosikan peluang kelangsungan hidup orang lain dengan biaya yang sendiri). 3. Self-sacrifice for the benefit of others (Pengorbanan diri untuk kepentingan orang lain). Istilah ini menyiratkan penghargaan dan perhatian terhadap kepentingan orang lain, bahkan terhadap pengorbanan kepentingan pribadi.
Dalam karyanya, Catechisme Positiviste, Comte mengatakan bahwa setiap individu memiliki kehendak moral untuk melayani kepentingan orang lain atau melakukan kebaikan kemanusiaan tertinggi ("greater good" of humanity). Kehendak hidup untuk sesama merupakan bentuk pasti moralitas manusia, yang memberi arah suci dalam rupa naluri melayani, yang menjadi sumber kebahagiaan dan karya. Sebagai sebuah doktrin etis, altruisme berarti melayani orang lain dengan menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Tindakan ini seringkali disebut sebagai peniadaan diri atau pengosongan diri.
Altruisme adalah perbuatan mengutamakan orang lain dibanding diri sendiri. perbuatan ini adalah sifat murni dalam banyak budaya, dan merupakan inti dalam banyak agama. Dalam budaya Inggris, konsep ini sering diperihalkan sebagai peraturan keemasan etika. Dalam Buddhisme, ia dianggap sebagai sifat asas bagi fitrah manusia. Perilaku altruistik tidak hanya berhenti pada perbuatan itu sendiri. Sikap dan perilaku ini akan menjadi salah satu indikasi dari moralitas altruistik. Moralitas altruistik tidak sekadar mengandung kemurahan hati atau belas kasihan. Ia diresapi dan dijiwai oleh kesukaan memajukan sesama tanpa pamrih. Karena itu, tindakannya menuntut kesungguhan dan tanggung jawab yang berkualitas tinggi.
Pandangan Islam Kualitas iman atau agama justru harus diukur dari tindakan altruistik seseorang. sebagaimana hadis Rasulullah saw: “Berkorban untuk orang lain adalah kebajikan yang paling baik, dan merupakan derajat iman yang tertinggi.” Seorang yang mengaku beragama atau beriman mestilah jiwa dan ruhaninya diresapi kasih sayang terhadap sesama tanpa bersikap diskriminatif dan primordialistik. Orang beriman adalah orang yang diri dan apapun yang dimilikinya telah diberikan hanya untuk berjuang dijalan Allah.
Ciri utama moralitas altruistik adalah pengorbanan. Pemberian bantuan yang didasarkan pada kebutuhan sesama disebut sebagai tindakan filantropik. Karena itu, tindakan altruistik menjadi suatu yang diidealkan dalam ajaran-ajaran agama. Bahwa sesama manusia harus dikasihi.[10]
F.   Liberalisme
Liberalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan kebebasan.[11] Mereka berpendapat bahwa manusia pada hakikatnya baik dan bisa mencapai kesempurnaan. Para pendukung revolusi atau kaum liberal, yang percaya bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, memastikan bahwa sumber segala ketidakberesan di dalam kehidupan sosial terdapat di dalam lingkungan manusia, bukannya di dalam diri atau kodrat manusia sendiri. Perbaikan keadaan manusia dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi dan sains. Tradisi dianggapnya sebagai sumber kekolotan yang tidak lain hanya merintangi kemajuan dan menghambat perkembangan serta cara kerja yang efisien. “Budi” manusia dan “hak asasi” manusia telah menjadi panji-panji dan yel-yel perjuangan untuk mengatasi segala macam persoalan manusia. Maka bagi mereka, kemajuan berarti pergeseran dari tingkah laku tradisional ke rasional.
Berkaitan dengan masalah kehidupan kemasyarakatan, para pendukung revolusi atau kaum liberal mempunyai pendekatan yang berbeda dari kaum tradisional atau konservatif. Kaum liberal menekankan hak-hak dan kebebasan individual. Maka, persetujuan dari bawahan menjadi syarat mutlak bagi penguasa.[12]
Liberalisme yang merupakan sebuah pandangan yang membebaskan diri dari otoritarianisme agama dalam wilayah pemikiran, liberalisasi pemikiran Islam menghadapi isu-isu kontemporer, misalnya demokrasi, hak-hak asasi manusia, kesetaraan jender, kesetaraan agama-agama dan hubungan antar agama, tidak lagi terikat pada paradigm lama dan tidak terikat pula pada teks yang tidak berubah dan tidak bisa diubah itu, melainkan percaya pada kemampuan akal budi manusai sebagai anugerah Tuhan dalam merumuskan solusi terhadap masalah-masalah kontemporer itu. Penggunaan akal pikiran itu adalah perintah Allah dan rasulnya.[13]
G.  Sosialisme
Istilah ini dalam bahasa Inggris dikenal dengan socialism, dari bahasa Latin disebut socius yang berarti teman, sahabat, yang menunjuk pada asosiasi mana pun, entah pribadi (swasta) atau umum (pemerintah). Diatur menurut prinsip pengendalian harta dan produksi serta kekayaan oleh kelompok.
Sejarah Pemakaian dan Bebarapa Pandangan
1.    Istilah ini digunakan pertama kali, sejauh diketahui, tahun 1831 di Perancis. Ia muncul dalam sebuah artikel anonim, yang dipertalikan dengan Alexander Vinet. Ia mengemukakan bahwa akan ditemukan suatu jalan antara “individualisme dan sosialisme”. Baik Pierre Leroux maupun Louis Reyband menggunakan istilah ini pada tahun 1830-an. Keduanya mengklaim (rupanya keliru) telah memperkenalkannya. Istilah ini dipakai luas dalam periode ini oleh para pengikut Saint-Simon untuk menentang individualisme yang dianggap sesat. Sesungguhnya, Saint-Simon dipandang sebagai pendiri sosialisme Perancis, dan menganjurkan pembaruan pemerintah yang bermaksud mengembalikan harmoni pada masyarakat.
2.    Louis Blanc membikin slogan “Kepada tiap orang menurut kebutuhannya, dari tiap orang menurut kemampuannya”. Ia menganjurkan “bengkel masyarakat”, yang memadukan unsur-unsur serikat dagang dengan persekutuan gotong-royong. Ini dia lontarkan di depan Dewan Nasional Perancis untuk Departemen Tenaga Kerja tahun 11870. Usul itu ditolak sebagai berbau sosialistik.[14]
3.    Marx bersama Engels mempopulerkan istilah “Sosialisme Utopian” untuk semua pandangan yang menganut cara damai, evolusi atau persuasi, untuk melancarkan perubahan yang perlu. Mereka membuat pembedaan yang diterima luas antara sosialisme dan komunisme. Sosialisme adalah tahap yang dilalui masyarakat menuju komunisme.
Sesuai dengan teori materialisme dialektika  Karl Marx, tindakan adalah yang pertama dan fikiran adalah yang kedua. Aliran ini berpendapat bahwa tidak terdapat pengetahuan yang hanya merupakan pemikiran tentang alam, pengetahuan selalu dikaitkan dengan tindakan. Pada zaman dahulu, menurut Karl Marx, para filosof telah menjelaskan alam dengan cara yang berbeda-beda. Kewajiban manusia sekarang adalah untuk mengubah dunia, dan ini adalah tugas misi yang bersejarah dari kaum komunis.
Secara historis sosialisme mempunyai gagasan yang menuntut adanya pemerintahan yang lebih baik dan berusaha membuktikan kepada kelompok kaya dan pemilik modal bahwa eksploitasi itu tidak bermoral. Sosialisme pada awalnya adalah sebuah reaksi minoritas terhadap pelaksanaan etika kapitalis dan pengembangan masyarakat industri.
Sosialisme merupakan produk dari perubahan-perubahan sosial yang mengubah masyarakat-masyarakat Eropa di akhir abad kedelapan belas dan kesembilan belas. Inti dari sosialisme bukanlah semata-mata bahwa produksi itu harus dipusatkan di tangan negara itu harus seluruhnya merupakan peran ekonomi, di dalam masyarakat sosialis, pengelolaan atau tata pelaksanaan ekonomi harus menjadi tugas dasar negara.[15]
BAB III
PENUTUP
Catatan Penulis
Manusia pada dasarnya memang telah memiliki berbagai potensi dalam dirinya yang dibawanya sejak lahir. Namun pada perjalanan hidupnya ada banyak pendapat, pemikiran, dan pemahaman yang berbeda berusaha mempengaruhi cara berpikirnya. Manusia-manusia yang berusaha memikirkan segala sesuatu secara mendalam yang sering disebut para ‘filsuf’ saling mengemukakan pendapatnya tentang manusia dan kehidupan.
Orang-orang yang memiliki pemikiran yang hamper sama dengan salah seorang filsuf pun akhirnya menjadi pengikut filsuf tersebut. Dan tidak jarang akhirnya mereka juga mengemukakan pendapat baru tentang hal-hal yang dipikirkannya secara radikal.
Tentang manusia dan masyarakat, para filsuf beserta deretan uraiannya seolah ingin mengelompokkan manusia ke dalam beberapa paham yang dianut oleh sebagian mereka. Dalam hal ini, aliran Materialisme merasa unggul dengan keyakinan bahwa realita seluruhnya adalah materi belaka. Di sini tidak ditemukan adanya kepercayaan yang kuat terhadap peran agama. Muncul selanjutnya paham spiritual yang dikenal dengan Spiritualisme. Aliran ini begitu yakin pada kekuatan jiwa atau roh yang membawa seseorang menemukan hakikat dirinya dalam kehidupan. Peran agama pada aliran ini sangat besar, terlihat beertentangan dengan aliran sebelumnya, Materialisme.
Kemudian dalam Individualisme manusia itu memiliki watak dan sifat yang khas yang dibentuk oleh kemauannya sendiri. Tidak terdapat adanya hubungan dengan orang banyak dalam menentukan kehidupannya. Paham ini seolah menunjukkan bahwa campurtangan dari masyarakat hanya akan menghambat kebebasan dan kesejahteraannya.
Altruisme, paham yang lebih mengutamakan kepentingan orang lain ketimbang dirinya nampaknya tidak sejalan dengan Individualisme yang mengunggulkan kepentingan individu-individu yang agak tertutup dengan masyarakat. Dalam altruisme, orang lain menduduki tingkat atas dalam kepentingannya. Karena Altruisme merupakan kehendak pengorbanan kepentingan pribadi yang seringkali disebut sebagai peniadaan diri atau pengosongan diri. Aliran ini seolah ingin mengajarkan bahwa keharmonisan hidup bermasyarakat hanya bisa dicapai apabila setiap orang itu mengutamakan kepentingan orang lain.
Selanjutnya, ada aliran Liberalisme yang mengutamakan kebebasan berbuat dan berkehendak. Dalam aliran ini seseorang bebas melakukan apa saja sesuai dengan kehendak hatinya asalkan tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Kebebasan seperti ini menunjukkan bahwa seseorang itu tidak ingin diatur oleh orang lain. Seseorang bebas menentukan yang baik dan buruk untuk dirinya sendiri.
Dan sistem pemikiran filsafat yang terakhir tentang manusia dan masyarakat ialah Sosialisme yang bisa dikatakan lawan dari Individualisme. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam hidupnya seseorang tentu membutuhkan teman. Perlu kerja sama dengan orang lain dalam menangani suatu urusan, perlu bersosialisasi agar hidup itu bisa lebih dimaknai sebagai suatu proses menuju kehidupan yang lebih hakiki.
Dari semua aliran tersebut dapat diketahui bahwa pemikiran tentang manusia itu sangatlah kompleks, seperti yang kita tahu selain sebagai makhluk individu manusia itu juga merupakan makhluk sosial yang tidak mungkin bisa memisahkan diri dari orang lain. Manusia itu memiliki banyak keunikan, dapat berkreativitas dengan segala potensi yang dimilikinya. Walaupun ada banyak aliran yang menunjukkan keberagaman sifat khas manusia, namun hal itu tidak menjadi suatu perkara asalkan setiap individu bisa saling menghargai pendapat masing-masing orang lain.






DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia, 1996.
Hadi, P. Hartono. Jati Diri Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Hartoko, Dick. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995.
Rachman, Budhy Munawar. Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010.
Salam, Burhanuddin. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997.
Syadali, Ahmad dan Mudzakir. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia, 1997.





[1]P. Hartono Hadi, Jati Diri Manusia, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 124-126.
[2]Burhanuddin Salam, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), hlm. 191.
[3]Ibid., hlm. 197.
[4]Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1997), hlm. 118-119.
[5]Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia, 1996), hlm. 1035.
[6]http://artikel.sabda.org/antara_materialisme_dan_spiritualisme.
[7]Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 43.
[8]Lorens Bagus, Op. Cit.,  hlm. 339-340.
[9]P. Hartono Hadi, Op. Cit., hlm. 113-114.
[10]http://autre-ism.blogspot.com/2009/01/altruisme-itsar.html
[11]http://id.wikipedia.org/wiki/Liberalisme.
[12]P. Hartono Hadi, Op. Cit., hlm.29-30.
[13]Budhy Munawar Rachman, Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010), hlm.  39-41.
[14]Lorens Bagus, Op. Cit., hlm. 1030-1031.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites