Thursday, May 5, 2011

Filsafat Umum - Sistem-Sistem Pemikiran Filsafat Tentang Manusia Dan Masyarakat

by Hidayah

BAB I
PENDAHULUAN
Filsafat merupakan salah satu bidang yang selalu menusuk nurani kehidupdan sesuai dengan zamannya. Filsafat Manusia merupakan bagian internal dari filsafat sistematis yang selalu mempertanyakan kodrat manusia. Di bidang ini pun terdapat pemikiran dan pemahaman yang selalu berkembang. Di dalam bidang filsafat, pemahaman manusia bisa ditelusuri berdasar pendapat dan keyakinan para filsuf yang mencoba menginterpretasi-kan kehidupan pada masanya, menyajikan pemahaman yang bisa membantu mem-bimbing kehidupan.
Manusia yang semula begitu percaya bahwa dirinya mampu mengarahkan semesta dan kehidupan, akhirnya harus mengakui bahwa dirinya hanyalah merupakan bagian dari suatu kesatuan yang berada di luar genggamannya. Manusia menjadi tidak tahu harus mencari jawaban di mana terhadap pertanyaan mengenai pemahamannya terhadap kenyataan yang melandanya. Dia semakin tidak tahu harus mulai dari mana kalau mau menemukan dan menelusuri benang merah kehidupan dan kenyataan di mana ia hidup. Terlalu banyak benang merah yang saling terkait menjadi benang ruwet yang membuat putus asa bagi usaha untuk merunutnya.
Manusia menjadi tidak berdaya untuk mengenali nilai dan maknanya. Dari satu pihak, perkembangan dunia dengan  sistemnya dewasa ini tidak begitu saja membiarkan manusia menarik diri dari kesibukan sehari-hari untuk merenungkan dirinya kembali dengan tenang. Namun, dari lain pihak, manusia merasakan urgensi tuntutan untuk menentukan nilai-nilai kemanusiaan agar mempunyai pedoman bagi arah yang ditujunya.
Pada masa selanjutnya banyak aliran yang mencoba mendefinisikan seperti apa mannusia itu, banyak paham yang dianut oleh manusia berdasarkan kebiasaan dirinya. Pada bagian selanjutnya akan dibahas lebih jauh paham apa saja yang ada dalam kehidupan manusia dan masyarakatnya.


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Hubungan Antara Individu dan Masyarakat
Manusia sebagai pribadi bukanlah pelengkap penderita yang hanya membiarkan dirinya diserbu dan dijejali oleh macam-macam hal yang berseliweran di sekitarnya. Ciri khas manusia adalah sifat kreatifnya yang begitu produktif di dalam menciptakan sesuatu yang baru. Apa yang dihayati secara pribadi bukanlah sekadar fotokopi dari apa yang telah ada dan pernah dimunculkan oleh orang lain atau masyarakat. Pembaruan yang dihayati secara pribadi, kemudian ditawarkan kepada masyarakat, sehingga masyarakat pun tidak mandul, melainkan bergerak maju dengan seluruh daya kreatifnya.
Setiap anggota masyarakat merupakan bagian integral yang unik dari masyarakat, yang tidak dapat digeser, diganti dan diwakili oleh individu lain. Masing-masing anggota menyumbangkan diri serta kemampuan mereka didalam membentuk masyarakat yang konkret dan riil.
Masyarakat adalah rahim yang melahirkan individu, sebaliknya masyarakat hanya muncul sebagai akibat dari interaksi antara anggota-anggotanya. Masyarakat berfungsi sebagai keseluruhan yang menyatukan dan menstimulasi kreativitas mereka dengan bebas dan bertanggung jawab, sehingga mereka bisa menyumbangkan prestasi gemilang kepada masyarakat.
Dalam pengertian tertentu boleh dikatakan bahwa masyarakat adalah objek dari anggota individual, dan anggota individual merupakan pencipta serta subjek yang memberi arti dan adanya bagi masyarakat. Sehingga menjadi jelas bahwa manusia tidak mungkin hidup terlepas dari masyarakatnya. Sejak kecil dia dibesarkan dan dididik di dalam masyarakat manusia yang memungkinkannya untuk hidup dan berkembang menjadi manusia dewasa dan utuh. Dari satu pihak, individu menjadi manusia berkat masyarakat dan dari lain pihak, masyarakat hanya tercipta berkat komunikasi intensif antar anggota-anggotanya.[1]
B.  Materialisme
Hegel merupakan tokoh menonjol yang memiliki banyak murid pada abad ke-19. Ia menguraikan filsafatnya dengan menggunakan metode dialektik. Dengan metode dialektik ia menganalisis bahwa dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat terjadi dialektika. Kalau ada suatu kegiatan yang ekstrim kiri misalnya, maka akan timbul suatu kegiatan atau tindakan yang bertentangan dengan tindakan semula ekstrim kanan, yang pada akhirnya akan menimbulkan suatu kompromi, yang memudahkan antara ekstrim kiri dan ekstrim kanan.[2]
Pengikut-pengikut Hegel ini terpecah menjadi dua pandangan, yaitu pengikut Hegel beraliran kanan, di mana mereka membela ajaran agama Kristen, dan yang lainnya ialah pengikut Hegel beraliran kiri yang memusuhi ajaran agama, yang disebut Materialisme, dengan para pengikutnya, di antaranya Feuerbach, Marx, dan Engels.[3]
Aliran filsafat materialisme memandang bahwa realita seluruhnya adalah materi belaka. Tokoh aliran ini (Materialisme Alam) adalah Ludwig Feuerbach (1804-1872) sebagai pengikut Hegel, mengemukakan pendapatnya, bahwa baik pengetahuan maupun tindakan berlaku adagium, artinya terimalah dunia yang ada, bila menolak agama atau metafisika. Satu-satunya asas kesusilaan adalah keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan. Dan untuk mencari kebahagiaan manusia harus ingat akan sesamanya.
Menurut Karl Marx (1818-1883), tugas seorang filosof adalah bukan untuk menerangkan dunia, tetapi untuk mengubahnya. Hidup manusia itu ternyata ditentukan oleh keadaan ekonomi. Dari segala hasil tindakannya: ilmu, seni, agama, kesusilaan, hukum, politik. Semuanya itu hanya endapan dari keadaan itu, sedangkan keadaan itu  sendiri ditentukan benar-benar dalam sejarah.
Dalam pandangan materialisme, baik yang kolot maupun yang modern, manusia itu pada akhirnya adalah benda, seperti halnya kayu dan batu, akan tetapi materialisme mengatakan  bahwa pada akhirnya manusia adalah sesuatu yang material dengan kata lain materi, betul-betul materi. Menurut bentuknya manusia memang lebih unggul ketimbang sapi, batu, atau pohon, tetapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi. Dilihat dari segi keberadaannya juga sama.[4]
C.  Spiritualisme
Spiritualisme merupakan sebuah istilah dengan kaitan filosofis dan religius. Secra filosofis, kadang istilah ini digunakan sebagai sinonim Idealisme. Dalam agama, adakalanya istilah ini mengacu kepada penjelmaan roh.
1.    Beberapa Penggunaan
a.       Dalam filsafat, Spiritualisme merupakan gerakan reaksi melawan Positivisme Comte di Perancis abad ke-19. Gerakan ini dirintis sebagian besar oleh Victor Cousin bersama dengan Royer-Collard sebagai pendahulu.
b.      Istilah itu juga mengacu pada gerakan yang menganut minat terhadap hubungan dengan ‘roh-roh orang mati”, yang mulai di Amerika Serikat tahun 1848, yang mendirikan pusatnya di Washington, D.C., tahun 1893.
c.       Italia istilah itu mengacu pada gerakan abad ke-20, yangb dikenal sebagai Spiritualisme Kristen, yang berawal dari Gentile maupun eksistensialisme religius.
2.    Spiritualisme Metafisik
Spiritualisme metafisik memuat beberapa pengertian:
-         Pandangan bahwa realitas terakhir, yang mendasari (atau landasan realitas) adalah roh atau jiwa dunia yang a) meresapi alam semesta pada semua tingkat kegiatannya b) adalah sebab aktivitas, tata, arah alam semesta; c) berguna sebagai satu-satunya penjelasan lengkap dan rasional eksistensi alam semesta.
-         Pandangan bahwa yang ada hanyalah Roh Absolut (dan roh-roh terbatas seperti manusia) dan semua lainnya merupakan produk Roh Absolut.[5]
3.    Spiritualisme dalam Pengaruh Materialisme
Pengaruh materialisme kini merambah pada ranah agama, aroma orientasi bisnisisasi agama telah menjadi tren umum, untuk tidak mengatakan membiasa, tidak hanya melalui tayangan di layar kaca, tetapi juga melalui kegiatan religius dan "pesta rohani" yang marak belakangan ini, yang justru membuktikan bahwa agama sering ditampilkan melalui pertimbangan kepentingan konsumen/pasar daripada pada sisi esensi dan nilai profetik (pembebasan, pencerahan) kesadaran umat. Tak heran sinetron dan tayangan religius yang bernuansa "menakut-nakuti" lebih digemari dan dominan daripada tampilan dan kegiatan agama yang memberi pencerahan dan penyadaran umat.
Di tengah semakin tingginya kebutuhan manusia mencari sandaran kepastian dan ketenangan jiwa menghadapi perubahan tantangan hidup, agama akhir-akhir ini justru menampakkan wajahnya yang keras dan jahat. Sehingga jurang kesenjangan semakin dalam antara pesan esensial-universal agama sebagai penyampai kabar damai, kasih dan rahmat bagi semesta alam, dengan praktik nyata manusia beragama yang menyenangi kekerasan dan intoleransi pada sesamanya.
Hasil pemahaman pribadi, kelompok, organisasi menjumpai teks suci dipaksakan menjadi milik publik, bukan sebaliknya, nilai-nilai universal agama (kedamaian, kerukunan, kasih, toleran, inklusif, dst.) dalam teks suci yang mestinya menjadi norma publik dan menjiwai pengalaman atau pengalaman pribadi. Keterbalikan ini mengakibatkan relasi antar-agama yang terbangun hanya sampai pada "kami" dengan "mereka" belum beranjak menjadi "tentang kita".
Pengaruh terjauh dari materialisme ini adalah semakin tersingkirnya ruang nilai-nilai yang bersifat transenden (non-materi) yang sebenarnya juga menjadi kebutuhan dasar batin dan jiwa manusia. Sebab, tanpanya keseimbangan hidup manusia akan timpang-untuk tidak mengatakan kekeringan-kebutuhan itu adalah spiritualitas.
Spiritualitas yang memperkaya keimanan dapat dicapai melalui kesediaan diri melihat realitas keduniawian secara relatif, hanya sebagai jembatan untuk jalan yang lebih panjang dan abadi setelah mati. Dalam hitungan sejarah agama yang bersandar pada wahyu secara tradisional telah mengalami masa pencerahan berkali-kali agar lebih menyapa pada tuntutan manusia modern. Namun di sisi lain, perkembangan modernisme semakin hari justru menggerus pesan dasar dan nilai terdalam dari agama yang ingin memberi arah kepastian keselamatan, membekali jiwa manusia menghadapi hidup dan setelah hidup secara harmoni.[6]
D.  Individualisme
Individualisme berarti sifat-sifat khusus tiap-tiap orang (individium) hendaknya diperhatikan. Ini merupakan lawan dari sosialisme dan kolektivisme. Tiap-tiap orang mempunyai watak dan sifat yang khas yang dibentuk oleh kemauannya sendiri yang bebas dan oleh keadaan sejarah. Tiap-tiap orang langsung bertanggung jawab terhadap Tuhan. Secara negatif menangkal keterikatan manusia dengan masyarakat (individualistle).[7]
Individualisme dilihat sebagai penekanan yang berlebihan atas individu sedemikian rupa, sehingga hubungan dengan masyarakat yang lebih besar disepelekan. Dalam filsafat sosial, individualisme merupakan pandangan mengenai masyarakat yang semakin menekankan nilai individu, sehingga masyarakat menjadi semata-mata jumlah individu-individu, tetapi tidak merupakan suatu keseluruhan atau kesatuan yang nyata.[8]
John Stuart Mill (1805-1873) adalah pendukung tegar individualisme. Kebebasan individu, menurut Mill, adalah nilai tertinggi yang dimiliki manusia dan tidak dapat ditawar. Kesejahteraan dan kebebasan individu, yang keberlangsungannya sangat mudah terancam oleh campurtangan masyarakat, merupakan keprihatinannya yang utama. Secara singkat Mill merumuskan hubungan antara individu dan masyarakat sebagai berikut:
“Prinsipnya adalah: pertama, bahwa individu tidak bertanggung jawab kepada masyarakat atas tindakan-tindakannya sejauh tindakan-tindakan itu hanya menyangkut dirinya sendiri dan tidak mengenai orang lain. Kedua, bahwa terhadap tindakan-tindakan yang merugikan kepentingan orang lain, pelaku bertanggung jawab dan bisa dikenai sangsi sosial atau sangsi hukum bila masyarakat memandang bahwa salah satu dari kedua alternative tersebut merupakan sarana bagi perlindungan hak-hak oang lain.”
Maka, menurut Mill, setiap orang mempunyai hak atas cara hidup, berpendapat, dan bertindak yang berbeda dari tradisi dan kebiasaan orang lain.
Menurut Thomas Hobbes (1588-1679) masyarakat bukanlah muncul berdasarkan kodrat, tetapi hanyalah ciptaan manusia sendiri yang saling mengadakan kontrak sosial untuk membentuk masyarakat tertentu. Maka sifat-sifat dan tindakan masyarakat dapat ditelusuri kembali dan dijelaskan seluruhnya oleh sifat-sifat dan tindakan-tindakan individu-individu yang membentuk masyarakat.[9]
E.   Altruisme
Altruisme berasal dari bahasa Perancis yaitu Autrui, dalam bahasa Inggris Altruism, dan dalam bahasa Latin Alter yang berarti lain atau yang lain. Kata ini diangkat oleh Auguste Comte, filsuf Perancis. Secara epistimologis, altruisme berarti: 1. Loving others as oneself (Mencintai orang lain seperti dirinya sendiri). 2. Behaviour that promotes the survival chances of others at a cost to ones own (Perilaku yang mempromosikan peluang kelangsungan hidup orang lain dengan biaya yang sendiri). 3. Self-sacrifice for the benefit of others (Pengorbanan diri untuk kepentingan orang lain). Istilah ini menyiratkan penghargaan dan perhatian terhadap kepentingan orang lain, bahkan terhadap pengorbanan kepentingan pribadi.
Dalam karyanya, Catechisme Positiviste, Comte mengatakan bahwa setiap individu memiliki kehendak moral untuk melayani kepentingan orang lain atau melakukan kebaikan kemanusiaan tertinggi ("greater good" of humanity). Kehendak hidup untuk sesama merupakan bentuk pasti moralitas manusia, yang memberi arah suci dalam rupa naluri melayani, yang menjadi sumber kebahagiaan dan karya. Sebagai sebuah doktrin etis, altruisme berarti melayani orang lain dengan menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Tindakan ini seringkali disebut sebagai peniadaan diri atau pengosongan diri.
Altruisme adalah perbuatan mengutamakan orang lain dibanding diri sendiri. perbuatan ini adalah sifat murni dalam banyak budaya, dan merupakan inti dalam banyak agama. Dalam budaya Inggris, konsep ini sering diperihalkan sebagai peraturan keemasan etika. Dalam Buddhisme, ia dianggap sebagai sifat asas bagi fitrah manusia. Perilaku altruistik tidak hanya berhenti pada perbuatan itu sendiri. Sikap dan perilaku ini akan menjadi salah satu indikasi dari moralitas altruistik. Moralitas altruistik tidak sekadar mengandung kemurahan hati atau belas kasihan. Ia diresapi dan dijiwai oleh kesukaan memajukan sesama tanpa pamrih. Karena itu, tindakannya menuntut kesungguhan dan tanggung jawab yang berkualitas tinggi.
Pandangan Islam Kualitas iman atau agama justru harus diukur dari tindakan altruistik seseorang. sebagaimana hadis Rasulullah saw: “Berkorban untuk orang lain adalah kebajikan yang paling baik, dan merupakan derajat iman yang tertinggi.” Seorang yang mengaku beragama atau beriman mestilah jiwa dan ruhaninya diresapi kasih sayang terhadap sesama tanpa bersikap diskriminatif dan primordialistik. Orang beriman adalah orang yang diri dan apapun yang dimilikinya telah diberikan hanya untuk berjuang dijalan Allah.
Ciri utama moralitas altruistik adalah pengorbanan. Pemberian bantuan yang didasarkan pada kebutuhan sesama disebut sebagai tindakan filantropik. Karena itu, tindakan altruistik menjadi suatu yang diidealkan dalam ajaran-ajaran agama. Bahwa sesama manusia harus dikasihi.[10]
F.   Liberalisme
Liberalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan kebebasan.[11] Mereka berpendapat bahwa manusia pada hakikatnya baik dan bisa mencapai kesempurnaan. Para pendukung revolusi atau kaum liberal, yang percaya bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, memastikan bahwa sumber segala ketidakberesan di dalam kehidupan sosial terdapat di dalam lingkungan manusia, bukannya di dalam diri atau kodrat manusia sendiri. Perbaikan keadaan manusia dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi dan sains. Tradisi dianggapnya sebagai sumber kekolotan yang tidak lain hanya merintangi kemajuan dan menghambat perkembangan serta cara kerja yang efisien. “Budi” manusia dan “hak asasi” manusia telah menjadi panji-panji dan yel-yel perjuangan untuk mengatasi segala macam persoalan manusia. Maka bagi mereka, kemajuan berarti pergeseran dari tingkah laku tradisional ke rasional.
Berkaitan dengan masalah kehidupan kemasyarakatan, para pendukung revolusi atau kaum liberal mempunyai pendekatan yang berbeda dari kaum tradisional atau konservatif. Kaum liberal menekankan hak-hak dan kebebasan individual. Maka, persetujuan dari bawahan menjadi syarat mutlak bagi penguasa.[12]
Liberalisme yang merupakan sebuah pandangan yang membebaskan diri dari otoritarianisme agama dalam wilayah pemikiran, liberalisasi pemikiran Islam menghadapi isu-isu kontemporer, misalnya demokrasi, hak-hak asasi manusia, kesetaraan jender, kesetaraan agama-agama dan hubungan antar agama, tidak lagi terikat pada paradigm lama dan tidak terikat pula pada teks yang tidak berubah dan tidak bisa diubah itu, melainkan percaya pada kemampuan akal budi manusai sebagai anugerah Tuhan dalam merumuskan solusi terhadap masalah-masalah kontemporer itu. Penggunaan akal pikiran itu adalah perintah Allah dan rasulnya.[13]
G.  Sosialisme
Istilah ini dalam bahasa Inggris dikenal dengan socialism, dari bahasa Latin disebut socius yang berarti teman, sahabat, yang menunjuk pada asosiasi mana pun, entah pribadi (swasta) atau umum (pemerintah). Diatur menurut prinsip pengendalian harta dan produksi serta kekayaan oleh kelompok.
Sejarah Pemakaian dan Bebarapa Pandangan
1.    Istilah ini digunakan pertama kali, sejauh diketahui, tahun 1831 di Perancis. Ia muncul dalam sebuah artikel anonim, yang dipertalikan dengan Alexander Vinet. Ia mengemukakan bahwa akan ditemukan suatu jalan antara “individualisme dan sosialisme”. Baik Pierre Leroux maupun Louis Reyband menggunakan istilah ini pada tahun 1830-an. Keduanya mengklaim (rupanya keliru) telah memperkenalkannya. Istilah ini dipakai luas dalam periode ini oleh para pengikut Saint-Simon untuk menentang individualisme yang dianggap sesat. Sesungguhnya, Saint-Simon dipandang sebagai pendiri sosialisme Perancis, dan menganjurkan pembaruan pemerintah yang bermaksud mengembalikan harmoni pada masyarakat.
2.    Louis Blanc membikin slogan “Kepada tiap orang menurut kebutuhannya, dari tiap orang menurut kemampuannya”. Ia menganjurkan “bengkel masyarakat”, yang memadukan unsur-unsur serikat dagang dengan persekutuan gotong-royong. Ini dia lontarkan di depan Dewan Nasional Perancis untuk Departemen Tenaga Kerja tahun 11870. Usul itu ditolak sebagai berbau sosialistik.[14]
3.    Marx bersama Engels mempopulerkan istilah “Sosialisme Utopian” untuk semua pandangan yang menganut cara damai, evolusi atau persuasi, untuk melancarkan perubahan yang perlu. Mereka membuat pembedaan yang diterima luas antara sosialisme dan komunisme. Sosialisme adalah tahap yang dilalui masyarakat menuju komunisme.
Sesuai dengan teori materialisme dialektika  Karl Marx, tindakan adalah yang pertama dan fikiran adalah yang kedua. Aliran ini berpendapat bahwa tidak terdapat pengetahuan yang hanya merupakan pemikiran tentang alam, pengetahuan selalu dikaitkan dengan tindakan. Pada zaman dahulu, menurut Karl Marx, para filosof telah menjelaskan alam dengan cara yang berbeda-beda. Kewajiban manusia sekarang adalah untuk mengubah dunia, dan ini adalah tugas misi yang bersejarah dari kaum komunis.
Secara historis sosialisme mempunyai gagasan yang menuntut adanya pemerintahan yang lebih baik dan berusaha membuktikan kepada kelompok kaya dan pemilik modal bahwa eksploitasi itu tidak bermoral. Sosialisme pada awalnya adalah sebuah reaksi minoritas terhadap pelaksanaan etika kapitalis dan pengembangan masyarakat industri.
Sosialisme merupakan produk dari perubahan-perubahan sosial yang mengubah masyarakat-masyarakat Eropa di akhir abad kedelapan belas dan kesembilan belas. Inti dari sosialisme bukanlah semata-mata bahwa produksi itu harus dipusatkan di tangan negara itu harus seluruhnya merupakan peran ekonomi, di dalam masyarakat sosialis, pengelolaan atau tata pelaksanaan ekonomi harus menjadi tugas dasar negara.[15]
BAB III
PENUTUP
Catatan Penulis
Manusia pada dasarnya memang telah memiliki berbagai potensi dalam dirinya yang dibawanya sejak lahir. Namun pada perjalanan hidupnya ada banyak pendapat, pemikiran, dan pemahaman yang berbeda berusaha mempengaruhi cara berpikirnya. Manusia-manusia yang berusaha memikirkan segala sesuatu secara mendalam yang sering disebut para ‘filsuf’ saling mengemukakan pendapatnya tentang manusia dan kehidupan.
Orang-orang yang memiliki pemikiran yang hamper sama dengan salah seorang filsuf pun akhirnya menjadi pengikut filsuf tersebut. Dan tidak jarang akhirnya mereka juga mengemukakan pendapat baru tentang hal-hal yang dipikirkannya secara radikal.
Tentang manusia dan masyarakat, para filsuf beserta deretan uraiannya seolah ingin mengelompokkan manusia ke dalam beberapa paham yang dianut oleh sebagian mereka. Dalam hal ini, aliran Materialisme merasa unggul dengan keyakinan bahwa realita seluruhnya adalah materi belaka. Di sini tidak ditemukan adanya kepercayaan yang kuat terhadap peran agama. Muncul selanjutnya paham spiritual yang dikenal dengan Spiritualisme. Aliran ini begitu yakin pada kekuatan jiwa atau roh yang membawa seseorang menemukan hakikat dirinya dalam kehidupan. Peran agama pada aliran ini sangat besar, terlihat beertentangan dengan aliran sebelumnya, Materialisme.
Kemudian dalam Individualisme manusia itu memiliki watak dan sifat yang khas yang dibentuk oleh kemauannya sendiri. Tidak terdapat adanya hubungan dengan orang banyak dalam menentukan kehidupannya. Paham ini seolah menunjukkan bahwa campurtangan dari masyarakat hanya akan menghambat kebebasan dan kesejahteraannya.
Altruisme, paham yang lebih mengutamakan kepentingan orang lain ketimbang dirinya nampaknya tidak sejalan dengan Individualisme yang mengunggulkan kepentingan individu-individu yang agak tertutup dengan masyarakat. Dalam altruisme, orang lain menduduki tingkat atas dalam kepentingannya. Karena Altruisme merupakan kehendak pengorbanan kepentingan pribadi yang seringkali disebut sebagai peniadaan diri atau pengosongan diri. Aliran ini seolah ingin mengajarkan bahwa keharmonisan hidup bermasyarakat hanya bisa dicapai apabila setiap orang itu mengutamakan kepentingan orang lain.
Selanjutnya, ada aliran Liberalisme yang mengutamakan kebebasan berbuat dan berkehendak. Dalam aliran ini seseorang bebas melakukan apa saja sesuai dengan kehendak hatinya asalkan tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Kebebasan seperti ini menunjukkan bahwa seseorang itu tidak ingin diatur oleh orang lain. Seseorang bebas menentukan yang baik dan buruk untuk dirinya sendiri.
Dan sistem pemikiran filsafat yang terakhir tentang manusia dan masyarakat ialah Sosialisme yang bisa dikatakan lawan dari Individualisme. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam hidupnya seseorang tentu membutuhkan teman. Perlu kerja sama dengan orang lain dalam menangani suatu urusan, perlu bersosialisasi agar hidup itu bisa lebih dimaknai sebagai suatu proses menuju kehidupan yang lebih hakiki.
Dari semua aliran tersebut dapat diketahui bahwa pemikiran tentang manusia itu sangatlah kompleks, seperti yang kita tahu selain sebagai makhluk individu manusia itu juga merupakan makhluk sosial yang tidak mungkin bisa memisahkan diri dari orang lain. Manusia itu memiliki banyak keunikan, dapat berkreativitas dengan segala potensi yang dimilikinya. Walaupun ada banyak aliran yang menunjukkan keberagaman sifat khas manusia, namun hal itu tidak menjadi suatu perkara asalkan setiap individu bisa saling menghargai pendapat masing-masing orang lain.






DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia, 1996.
Hadi, P. Hartono. Jati Diri Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Hartoko, Dick. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995.
Rachman, Budhy Munawar. Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010.
Salam, Burhanuddin. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997.
Syadali, Ahmad dan Mudzakir. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia, 1997.





[1]P. Hartono Hadi, Jati Diri Manusia, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 124-126.
[2]Burhanuddin Salam, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), hlm. 191.
[3]Ibid., hlm. 197.
[4]Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1997), hlm. 118-119.
[5]Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia, 1996), hlm. 1035.
[6]http://artikel.sabda.org/antara_materialisme_dan_spiritualisme.
[7]Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 43.
[8]Lorens Bagus, Op. Cit.,  hlm. 339-340.
[9]P. Hartono Hadi, Op. Cit., hlm. 113-114.
[10]http://autre-ism.blogspot.com/2009/01/altruisme-itsar.html
[11]http://id.wikipedia.org/wiki/Liberalisme.
[12]P. Hartono Hadi, Op. Cit., hlm.29-30.
[13]Budhy Munawar Rachman, Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010), hlm.  39-41.
[14]Lorens Bagus, Op. Cit., hlm. 1030-1031.

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites