by Hidayah
BAB I
PENDAHULUAN
Filsafat merupakan salah satu bidang yang selalu menusuk nurani
kehidupdan sesuai dengan zamannya. Filsafat Manusia merupakan bagian internal
dari filsafat sistematis yang selalu mempertanyakan kodrat manusia. Di bidang
ini pun terdapat pemikiran dan pemahaman yang selalu berkembang. Di dalam
bidang filsafat, pemahaman manusia bisa ditelusuri berdasar pendapat dan
keyakinan para filsuf yang mencoba menginterpretasi-kan kehidupan pada masanya,
menyajikan pemahaman yang bisa membantu mem-bimbing kehidupan.
Manusia yang semula begitu percaya bahwa dirinya mampu mengarahkan
semesta dan kehidupan, akhirnya harus mengakui bahwa dirinya hanyalah merupakan
bagian dari suatu kesatuan yang berada di luar genggamannya. Manusia menjadi
tidak tahu harus mencari jawaban di mana terhadap pertanyaan mengenai
pemahamannya terhadap kenyataan yang melandanya. Dia semakin tidak tahu harus
mulai dari mana kalau mau menemukan dan menelusuri benang merah kehidupan dan
kenyataan di mana ia hidup. Terlalu banyak benang merah yang saling terkait
menjadi benang ruwet yang membuat putus asa bagi usaha untuk merunutnya.
Manusia menjadi tidak berdaya untuk mengenali nilai dan maknanya.
Dari satu pihak, perkembangan dunia dengan
sistemnya dewasa ini tidak begitu saja membiarkan manusia menarik diri
dari kesibukan sehari-hari untuk merenungkan dirinya kembali dengan tenang.
Namun, dari lain pihak, manusia merasakan urgensi tuntutan untuk menentukan
nilai-nilai kemanusiaan agar mempunyai pedoman bagi arah yang ditujunya.
Pada masa selanjutnya banyak aliran yang mencoba mendefinisikan
seperti apa mannusia itu, banyak paham yang dianut oleh manusia berdasarkan
kebiasaan dirinya. Pada bagian selanjutnya akan dibahas lebih jauh paham apa
saja yang ada dalam kehidupan manusia dan masyarakatnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hubungan Antara Individu dan Masyarakat
Manusia sebagai
pribadi bukanlah pelengkap penderita yang hanya membiarkan dirinya diserbu dan
dijejali oleh macam-macam hal yang berseliweran di sekitarnya. Ciri khas
manusia adalah sifat kreatifnya yang begitu produktif di dalam menciptakan
sesuatu yang baru. Apa yang dihayati secara pribadi bukanlah sekadar fotokopi
dari apa yang telah ada dan pernah dimunculkan oleh orang lain atau masyarakat.
Pembaruan yang dihayati secara pribadi, kemudian ditawarkan kepada masyarakat,
sehingga masyarakat pun tidak mandul, melainkan bergerak maju dengan seluruh
daya kreatifnya.
Setiap anggota
masyarakat merupakan bagian integral yang unik dari masyarakat, yang tidak
dapat digeser, diganti dan diwakili oleh individu lain. Masing-masing anggota
menyumbangkan diri serta kemampuan mereka didalam membentuk masyarakat yang
konkret dan riil.
Masyarakat
adalah rahim yang melahirkan individu, sebaliknya masyarakat hanya muncul
sebagai akibat dari interaksi antara anggota-anggotanya. Masyarakat berfungsi
sebagai keseluruhan yang menyatukan dan menstimulasi kreativitas mereka dengan
bebas dan bertanggung jawab, sehingga mereka bisa menyumbangkan prestasi
gemilang kepada masyarakat.
Dalam
pengertian tertentu boleh dikatakan bahwa masyarakat adalah objek dari anggota
individual, dan anggota individual merupakan pencipta serta subjek yang memberi
arti dan adanya bagi masyarakat. Sehingga menjadi jelas bahwa manusia tidak
mungkin hidup terlepas dari masyarakatnya. Sejak kecil dia dibesarkan dan
dididik di dalam masyarakat manusia yang memungkinkannya untuk hidup dan
berkembang menjadi manusia dewasa dan utuh. Dari satu pihak, individu menjadi
manusia berkat masyarakat dan dari lain pihak, masyarakat hanya tercipta berkat
komunikasi intensif antar anggota-anggotanya.[1]
B.
Materialisme
Hegel merupakan tokoh menonjol yang memiliki banyak murid pada abad
ke-19. Ia menguraikan filsafatnya dengan menggunakan metode dialektik. Dengan
metode dialektik ia menganalisis bahwa dalam kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat terjadi dialektika. Kalau ada suatu kegiatan yang ekstrim kiri
misalnya, maka akan timbul suatu kegiatan atau tindakan yang bertentangan
dengan tindakan semula ekstrim kanan, yang pada akhirnya akan menimbulkan suatu
kompromi, yang memudahkan antara ekstrim kiri dan ekstrim kanan.[2]
Pengikut-pengikut Hegel ini terpecah menjadi dua pandangan, yaitu
pengikut Hegel beraliran kanan, di mana mereka membela ajaran agama Kristen,
dan yang lainnya ialah pengikut Hegel beraliran kiri yang memusuhi ajaran
agama, yang disebut Materialisme, dengan para pengikutnya, di antaranya
Feuerbach, Marx, dan Engels.[3]
Aliran filsafat materialisme memandang bahwa realita seluruhnya
adalah materi belaka. Tokoh aliran ini (Materialisme Alam) adalah Ludwig
Feuerbach (1804-1872) sebagai pengikut Hegel, mengemukakan pendapatnya, bahwa
baik pengetahuan maupun tindakan berlaku adagium, artinya terimalah dunia yang
ada, bila menolak agama atau metafisika. Satu-satunya asas kesusilaan adalah
keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan. Dan untuk mencari kebahagiaan manusia
harus ingat akan sesamanya.
Menurut Karl Marx (1818-1883), tugas seorang filosof adalah bukan
untuk menerangkan dunia, tetapi untuk mengubahnya. Hidup manusia itu ternyata ditentukan
oleh keadaan ekonomi. Dari segala hasil tindakannya: ilmu, seni, agama,
kesusilaan, hukum, politik. Semuanya itu hanya endapan dari keadaan itu,
sedangkan keadaan itu sendiri ditentukan
benar-benar dalam sejarah.
Dalam pandangan materialisme, baik yang kolot maupun yang modern,
manusia itu pada akhirnya adalah benda, seperti halnya kayu dan batu, akan
tetapi materialisme mengatakan bahwa
pada akhirnya manusia adalah sesuatu yang material dengan kata lain materi,
betul-betul materi. Menurut bentuknya manusia memang lebih unggul ketimbang
sapi, batu, atau pohon, tetapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan
sapi. Dilihat dari segi keberadaannya juga sama.[4]
C.
Spiritualisme
Spiritualisme
merupakan sebuah istilah dengan kaitan filosofis dan religius. Secra filosofis,
kadang istilah ini digunakan sebagai sinonim Idealisme. Dalam agama, adakalanya
istilah ini mengacu kepada penjelmaan roh.
1.
Beberapa
Penggunaan
a.
Dalam
filsafat, Spiritualisme merupakan gerakan reaksi melawan Positivisme Comte di Perancis
abad ke-19. Gerakan ini dirintis sebagian besar oleh Victor Cousin bersama
dengan Royer-Collard sebagai pendahulu.
b.
Istilah
itu juga mengacu pada gerakan yang menganut minat terhadap hubungan dengan
‘roh-roh orang mati”, yang mulai di Amerika Serikat tahun 1848, yang mendirikan
pusatnya di Washington, D.C., tahun 1893.
c.
Italia
istilah itu mengacu pada gerakan abad ke-20, yangb dikenal sebagai
Spiritualisme Kristen, yang berawal dari Gentile maupun eksistensialisme
religius.
2.
Spiritualisme
Metafisik
Spiritualisme
metafisik memuat beberapa pengertian:
-
Pandangan
bahwa realitas terakhir, yang mendasari (atau landasan realitas) adalah roh
atau jiwa dunia yang a) meresapi alam semesta pada semua tingkat kegiatannya b)
adalah sebab aktivitas, tata, arah alam semesta; c) berguna sebagai
satu-satunya penjelasan lengkap dan rasional eksistensi alam semesta.
-
Pandangan
bahwa yang ada hanyalah Roh Absolut (dan roh-roh terbatas seperti manusia) dan
semua lainnya merupakan produk Roh Absolut.[5]
3.
Spiritualisme dalam Pengaruh
Materialisme
Pengaruh
materialisme kini merambah pada ranah agama, aroma orientasi bisnisisasi agama
telah menjadi tren umum, untuk tidak mengatakan membiasa, tidak hanya melalui
tayangan di layar kaca, tetapi juga melalui kegiatan religius dan "pesta
rohani" yang marak belakangan ini, yang justru membuktikan bahwa agama
sering ditampilkan melalui pertimbangan kepentingan konsumen/pasar daripada
pada sisi esensi dan nilai profetik (pembebasan, pencerahan) kesadaran umat.
Tak heran sinetron dan tayangan religius yang bernuansa
"menakut-nakuti" lebih digemari dan dominan daripada tampilan dan
kegiatan agama yang memberi pencerahan dan penyadaran umat.
Di tengah
semakin tingginya kebutuhan manusia mencari sandaran kepastian dan ketenangan
jiwa menghadapi perubahan tantangan hidup, agama akhir-akhir ini justru
menampakkan wajahnya yang keras dan jahat. Sehingga jurang kesenjangan semakin
dalam antara pesan esensial-universal agama sebagai penyampai kabar damai,
kasih dan rahmat bagi semesta alam, dengan praktik nyata manusia beragama yang
menyenangi kekerasan dan intoleransi pada sesamanya.
Hasil
pemahaman pribadi, kelompok, organisasi menjumpai teks suci dipaksakan menjadi
milik publik, bukan sebaliknya, nilai-nilai universal agama (kedamaian,
kerukunan, kasih, toleran, inklusif, dst.) dalam teks suci yang mestinya
menjadi norma publik dan menjiwai pengalaman atau pengalaman pribadi.
Keterbalikan ini mengakibatkan relasi antar-agama yang terbangun hanya sampai
pada "kami" dengan "mereka" belum beranjak menjadi
"tentang kita".
Pengaruh
terjauh dari materialisme ini adalah semakin tersingkirnya ruang nilai-nilai
yang bersifat transenden (non-materi) yang sebenarnya juga menjadi kebutuhan
dasar batin dan jiwa manusia. Sebab, tanpanya keseimbangan hidup manusia akan
timpang-untuk tidak mengatakan kekeringan-kebutuhan itu adalah spiritualitas.
Spiritualitas
yang memperkaya keimanan dapat dicapai melalui kesediaan diri melihat realitas
keduniawian secara relatif, hanya sebagai jembatan untuk jalan yang lebih panjang
dan abadi setelah mati. Dalam hitungan sejarah agama yang bersandar pada wahyu
secara tradisional telah mengalami masa pencerahan berkali-kali agar lebih
menyapa pada tuntutan manusia modern. Namun di sisi lain, perkembangan
modernisme semakin hari justru menggerus pesan dasar dan nilai terdalam dari
agama yang ingin memberi arah kepastian keselamatan, membekali jiwa manusia
menghadapi hidup dan setelah hidup secara harmoni.[6]
D. Individualisme
Individualisme berarti sifat-sifat khusus tiap-tiap orang
(individium) hendaknya diperhatikan. Ini merupakan lawan dari sosialisme dan
kolektivisme. Tiap-tiap orang mempunyai watak dan sifat yang khas yang dibentuk
oleh kemauannya sendiri yang bebas dan oleh keadaan sejarah. Tiap-tiap orang
langsung bertanggung jawab terhadap Tuhan. Secara negatif menangkal keterikatan
manusia dengan masyarakat (individualistle).[7]
Individualisme dilihat sebagai penekanan yang berlebihan
atas individu sedemikian rupa, sehingga hubungan dengan masyarakat yang lebih
besar disepelekan. Dalam filsafat sosial, individualisme merupakan pandangan
mengenai masyarakat yang semakin menekankan nilai individu, sehingga masyarakat
menjadi semata-mata jumlah individu-individu, tetapi tidak merupakan suatu
keseluruhan atau kesatuan yang nyata.[8]
John Stuart Mill (1805-1873) adalah pendukung tegar
individualisme. Kebebasan individu, menurut Mill, adalah nilai tertinggi yang
dimiliki manusia dan tidak dapat ditawar. Kesejahteraan dan kebebasan individu,
yang keberlangsungannya sangat mudah terancam oleh campurtangan masyarakat,
merupakan keprihatinannya yang utama. Secara singkat Mill merumuskan hubungan
antara individu dan masyarakat sebagai berikut:
“Prinsipnya adalah: pertama, bahwa individu tidak bertanggung
jawab kepada masyarakat atas tindakan-tindakannya sejauh tindakan-tindakan itu
hanya menyangkut dirinya sendiri dan tidak mengenai orang lain. Kedua, bahwa
terhadap tindakan-tindakan yang merugikan kepentingan orang lain, pelaku
bertanggung jawab dan bisa dikenai sangsi sosial atau sangsi hukum bila
masyarakat memandang bahwa salah satu dari kedua alternative tersebut merupakan
sarana bagi perlindungan hak-hak oang lain.”
Maka, menurut Mill, setiap orang mempunyai hak atas cara
hidup, berpendapat, dan bertindak yang berbeda dari tradisi dan kebiasaan orang
lain.
Menurut
Thomas Hobbes (1588-1679) masyarakat bukanlah muncul berdasarkan kodrat, tetapi
hanyalah ciptaan manusia sendiri yang saling mengadakan kontrak sosial untuk
membentuk masyarakat tertentu. Maka sifat-sifat dan tindakan masyarakat dapat
ditelusuri kembali dan dijelaskan seluruhnya oleh sifat-sifat dan
tindakan-tindakan individu-individu yang membentuk masyarakat.[9]
E.
Altruisme
Altruisme berasal
dari bahasa
Perancis yaitu Autrui, dalam
bahasa Inggris Altruism, dan dalam bahasa Latin Alter yang
berarti lain atau yang lain. Kata ini diangkat oleh Auguste Comte, filsuf
Perancis. Secara
epistimologis, altruisme berarti: 1. Loving others as oneself (Mencintai orang lain seperti
dirinya sendiri). 2. Behaviour
that promotes the survival chances of others at a cost to ones own (Perilaku yang mempromosikan
peluang kelangsungan hidup orang lain dengan biaya
yang sendiri). 3. Self-sacrifice for the benefit of others (Pengorbanan diri untuk kepentingan
orang lain). Istilah ini menyiratkan penghargaan dan perhatian terhadap kepentingan
orang lain, bahkan terhadap pengorbanan kepentingan pribadi.
Dalam karyanya, Catechisme Positiviste, Comte
mengatakan bahwa setiap individu memiliki kehendak moral untuk melayani
kepentingan orang lain atau melakukan kebaikan kemanusiaan tertinggi ("greater
good" of humanity). Kehendak hidup untuk sesama merupakan bentuk pasti
moralitas manusia, yang memberi arah suci dalam rupa naluri melayani, yang
menjadi sumber kebahagiaan dan karya. Sebagai sebuah doktrin etis, altruisme
berarti melayani orang lain dengan menempatkan kepentingan orang lain di atas
kepentingannya sendiri. Tindakan ini seringkali disebut sebagai peniadaan diri
atau pengosongan diri.
Altruisme adalah perbuatan mengutamakan orang
lain dibanding diri sendiri. perbuatan ini adalah sifat murni dalam banyak
budaya, dan merupakan inti dalam banyak agama. Dalam budaya Inggris, konsep ini
sering diperihalkan sebagai peraturan keemasan etika. Dalam Buddhisme, ia dianggap
sebagai sifat asas bagi fitrah manusia. Perilaku altruistik tidak hanya
berhenti pada perbuatan itu sendiri. Sikap dan perilaku ini akan menjadi salah
satu indikasi dari moralitas altruistik. Moralitas altruistik tidak sekadar
mengandung kemurahan hati atau belas kasihan. Ia diresapi dan dijiwai oleh
kesukaan memajukan sesama tanpa pamrih. Karena itu, tindakannya menuntut
kesungguhan dan tanggung jawab yang berkualitas tinggi.
Pandangan Islam Kualitas iman atau agama justru
harus diukur dari tindakan altruistik seseorang. sebagaimana hadis Rasulullah
saw: “Berkorban untuk orang lain adalah kebajikan yang paling baik, dan
merupakan derajat iman yang tertinggi.” Seorang yang mengaku beragama atau
beriman mestilah jiwa dan ruhaninya diresapi kasih sayang terhadap sesama tanpa
bersikap diskriminatif dan primordialistik. Orang beriman adalah orang yang
diri dan apapun yang dimilikinya telah diberikan hanya untuk berjuang dijalan
Allah.
Ciri utama moralitas altruistik adalah
pengorbanan. Pemberian bantuan yang didasarkan pada kebutuhan sesama disebut
sebagai tindakan filantropik. Karena itu, tindakan altruistik menjadi suatu
yang diidealkan dalam ajaran-ajaran agama. Bahwa sesama manusia harus dikasihi.[10]
F.
Liberalisme
Liberalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan kebebasan.[11]
Mereka berpendapat bahwa manusia pada hakikatnya baik dan bisa mencapai
kesempurnaan. Para pendukung revolusi atau kaum liberal, yang percaya bahwa
manusia pada dasarnya adalah baik, memastikan bahwa sumber segala
ketidakberesan di dalam kehidupan sosial terdapat di dalam lingkungan manusia,
bukannya di dalam diri atau kodrat manusia sendiri. Perbaikan keadaan manusia
dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi dan sains. Tradisi dianggapnya
sebagai sumber kekolotan yang tidak lain hanya merintangi kemajuan dan
menghambat perkembangan serta cara kerja yang efisien. “Budi” manusia dan “hak
asasi” manusia telah menjadi panji-panji dan yel-yel perjuangan untuk mengatasi
segala macam persoalan manusia. Maka bagi mereka, kemajuan berarti pergeseran
dari tingkah laku tradisional ke rasional.
Berkaitan dengan masalah kehidupan kemasyarakatan, para
pendukung revolusi atau kaum liberal mempunyai pendekatan yang berbeda dari
kaum tradisional atau konservatif. Kaum liberal menekankan hak-hak dan
kebebasan individual. Maka, persetujuan dari bawahan menjadi syarat mutlak bagi
penguasa.[12]
Liberalisme
yang merupakan sebuah pandangan yang membebaskan diri dari otoritarianisme
agama dalam wilayah pemikiran, liberalisasi pemikiran Islam menghadapi isu-isu
kontemporer, misalnya demokrasi, hak-hak asasi manusia, kesetaraan jender,
kesetaraan agama-agama dan hubungan antar agama, tidak lagi terikat pada
paradigm lama dan tidak terikat pula pada teks yang tidak berubah dan tidak
bisa diubah itu, melainkan percaya pada kemampuan akal budi manusai sebagai anugerah
Tuhan dalam merumuskan solusi terhadap masalah-masalah kontemporer itu.
Penggunaan akal pikiran itu adalah perintah Allah dan rasulnya.[13]
G.
Sosialisme
Istilah
ini dalam bahasa Inggris dikenal dengan socialism, dari bahasa Latin
disebut socius yang berarti teman, sahabat, yang menunjuk pada asosiasi
mana pun, entah pribadi (swasta) atau umum (pemerintah). Diatur menurut prinsip
pengendalian harta dan produksi serta kekayaan oleh kelompok.
Sejarah
Pemakaian dan Bebarapa Pandangan
1.
Istilah
ini digunakan pertama kali, sejauh diketahui, tahun 1831 di Perancis. Ia muncul
dalam sebuah artikel anonim, yang dipertalikan dengan Alexander Vinet. Ia
mengemukakan bahwa akan ditemukan suatu jalan antara “individualisme dan
sosialisme”. Baik Pierre Leroux maupun Louis Reyband menggunakan istilah ini
pada tahun 1830-an. Keduanya mengklaim (rupanya keliru) telah
memperkenalkannya. Istilah ini dipakai luas dalam periode ini oleh para
pengikut Saint-Simon untuk menentang individualisme yang dianggap sesat. Sesungguhnya,
Saint-Simon dipandang sebagai pendiri sosialisme Perancis, dan menganjurkan
pembaruan pemerintah yang bermaksud mengembalikan harmoni pada masyarakat.
2.
Louis
Blanc membikin slogan “Kepada tiap orang menurut kebutuhannya, dari tiap orang
menurut kemampuannya”. Ia menganjurkan “bengkel masyarakat”, yang memadukan
unsur-unsur serikat dagang dengan persekutuan gotong-royong. Ini dia lontarkan
di depan Dewan Nasional Perancis untuk Departemen Tenaga Kerja tahun 11870.
Usul itu ditolak sebagai berbau sosialistik.[14]
3.
Marx
bersama Engels mempopulerkan istilah “Sosialisme Utopian” untuk semua pandangan
yang menganut cara damai, evolusi atau persuasi, untuk melancarkan perubahan
yang perlu. Mereka membuat pembedaan yang diterima luas antara sosialisme dan
komunisme. Sosialisme adalah tahap yang dilalui masyarakat menuju komunisme.
Sesuai
dengan teori materialisme dialektika Karl Marx, tindakan adalah yang
pertama dan fikiran adalah yang kedua. Aliran ini berpendapat bahwa tidak
terdapat pengetahuan yang hanya merupakan pemikiran tentang alam, pengetahuan
selalu dikaitkan dengan tindakan. Pada zaman dahulu, menurut Karl Marx, para
filosof telah menjelaskan alam dengan cara yang berbeda-beda. Kewajiban manusia
sekarang adalah untuk mengubah dunia, dan ini adalah tugas misi yang bersejarah
dari kaum komunis.
Secara
historis sosialisme mempunyai gagasan yang menuntut adanya pemerintahan yang
lebih baik dan berusaha membuktikan kepada kelompok kaya dan pemilik modal
bahwa eksploitasi itu tidak bermoral. Sosialisme pada awalnya adalah sebuah
reaksi minoritas terhadap pelaksanaan etika kapitalis dan pengembangan
masyarakat industri.
Sosialisme
merupakan produk dari perubahan-perubahan sosial yang mengubah
masyarakat-masyarakat Eropa di akhir abad kedelapan belas dan kesembilan belas.
Inti dari sosialisme bukanlah semata-mata bahwa produksi itu harus dipusatkan
di tangan negara itu harus seluruhnya merupakan peran ekonomi, di dalam
masyarakat sosialis, pengelolaan atau tata pelaksanaan ekonomi harus menjadi
tugas dasar negara.[15]
BAB III
PENUTUP
Catatan Penulis
Manusia
pada dasarnya memang telah memiliki berbagai potensi dalam dirinya yang
dibawanya sejak lahir. Namun pada perjalanan hidupnya ada banyak pendapat,
pemikiran, dan pemahaman yang berbeda berusaha mempengaruhi cara berpikirnya.
Manusia-manusia yang berusaha memikirkan segala sesuatu secara mendalam yang
sering disebut para ‘filsuf’ saling mengemukakan pendapatnya tentang manusia
dan kehidupan.
Orang-orang
yang memiliki pemikiran yang hamper sama dengan salah seorang filsuf pun
akhirnya menjadi pengikut filsuf tersebut. Dan tidak jarang akhirnya mereka
juga mengemukakan pendapat baru tentang hal-hal yang dipikirkannya secara
radikal.
Tentang
manusia dan masyarakat, para filsuf beserta deretan uraiannya seolah ingin mengelompokkan
manusia ke dalam beberapa paham yang dianut oleh sebagian mereka. Dalam hal
ini, aliran Materialisme merasa unggul dengan keyakinan bahwa realita
seluruhnya adalah materi belaka. Di sini tidak ditemukan adanya kepercayaan
yang kuat terhadap peran agama. Muncul selanjutnya paham spiritual yang dikenal
dengan Spiritualisme. Aliran ini begitu yakin pada kekuatan jiwa atau roh yang
membawa seseorang menemukan hakikat dirinya dalam kehidupan. Peran agama pada
aliran ini sangat besar, terlihat beertentangan dengan aliran sebelumnya,
Materialisme.
Kemudian
dalam Individualisme manusia itu memiliki watak dan sifat yang khas yang
dibentuk oleh kemauannya sendiri. Tidak terdapat adanya hubungan dengan orang
banyak dalam menentukan kehidupannya. Paham ini seolah menunjukkan bahwa
campurtangan dari masyarakat hanya akan menghambat kebebasan dan
kesejahteraannya.
Altruisme,
paham yang lebih mengutamakan kepentingan orang lain ketimbang dirinya
nampaknya tidak sejalan dengan Individualisme yang mengunggulkan kepentingan
individu-individu yang agak tertutup dengan masyarakat. Dalam altruisme, orang
lain menduduki tingkat atas dalam kepentingannya. Karena Altruisme
merupakan kehendak pengorbanan kepentingan pribadi yang seringkali disebut
sebagai peniadaan diri atau pengosongan diri. Aliran ini seolah ingin
mengajarkan bahwa keharmonisan hidup bermasyarakat hanya bisa dicapai apabila
setiap orang itu mengutamakan kepentingan orang lain.
Selanjutnya, ada aliran Liberalisme yang
mengutamakan kebebasan berbuat dan berkehendak. Dalam aliran ini seseorang
bebas melakukan apa saja sesuai dengan kehendak hatinya asalkan tidak
menimbulkan kerugian bagi orang lain. Kebebasan seperti ini menunjukkan bahwa
seseorang itu tidak ingin diatur oleh orang lain. Seseorang bebas menentukan
yang baik dan buruk untuk dirinya sendiri.
Dan
sistem pemikiran filsafat yang terakhir tentang manusia dan masyarakat ialah
Sosialisme yang bisa dikatakan lawan dari Individualisme. Memang tidak bisa
dipungkiri bahwa dalam hidupnya seseorang tentu membutuhkan teman. Perlu kerja
sama dengan orang lain dalam menangani suatu urusan, perlu bersosialisasi agar
hidup itu bisa lebih dimaknai sebagai suatu proses menuju kehidupan yang lebih
hakiki.
Dari
semua aliran tersebut dapat diketahui bahwa pemikiran tentang manusia itu
sangatlah kompleks, seperti yang kita tahu selain sebagai makhluk individu
manusia itu juga merupakan makhluk sosial yang tidak mungkin bisa memisahkan
diri dari orang lain. Manusia itu memiliki banyak keunikan, dapat
berkreativitas dengan segala potensi yang dimilikinya. Walaupun ada banyak
aliran yang menunjukkan keberagaman sifat khas manusia, namun hal itu tidak
menjadi suatu perkara asalkan setiap individu bisa saling menghargai pendapat
masing-masing orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Rianto, Fajar. Altruisme
Itsar. http://autre-ism.blogspot.com/2009/01/altruisme-itsar.html. 24 Maret 2011.
Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1997.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia, 1996.
Hadi, P. Hartono. Jati Diri Manusia. Yogyakarta: Kanisius,
1996.
Hartoko, Dick. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1995.
Rachman, Budhy Munawar. Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme.
Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010.
Salam, Burhanuddin. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997.
Syadali, Ahmad dan Mudzakir. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka
Setia, 1997.
http://id.wikipedia.org/wiki/Liberalisme. 24 Maret 2011.
http://artikel.sabda.org/antara-materialisme-dan-spiritualisme. 24 Maret 2011.
[1]P. Hartono
Hadi, Jati Diri Manusia, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 124-126.
[2]Burhanuddin
Salam, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 1997), hlm. 191.
[3]Ibid., hlm.
197.
[4]Asmoro Achmadi,
Filsafat Umum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1997), hlm. 118-119.
[5]Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia, 1996), hlm. 1035.
[6]http://artikel.sabda.org/antara_materialisme_dan_spiritualisme.
[7]Dick Hartoko, Kamus
Populer Filsafat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 43.
[8]Lorens Bagus, Op.
Cit., hlm. 339-340.
[9]P. Hartono
Hadi, Op. Cit., hlm. 113-114.
[10]http://autre-ism.blogspot.com/2009/01/altruisme-itsar.html
[11]http://id.wikipedia.org/wiki/Liberalisme.
[12]P. Hartono
Hadi, Op. Cit., hlm.29-30.
[13]Budhy Munawar
Rachman, Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme, (Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2010), hlm.
39-41.
[14]Lorens Bagus,
Op. Cit., hlm. 1030-1031.
0 komentar:
Post a Comment