Monday, December 19, 2011

Tips Aman Mengendarai Sepeda Motor saat Pulang Kampung

Sebentar lagi kita akan memasuki libur panjang semester ganjil. Tentu sebagai mahasiswa yang tinggal jauh dari orang tua kita ingin bertemu keluarga di kampung dan menikmati kehidupan lama yang begitu tenang. untuk itu kita harus pulang kampung baik menggunakan jasa transportasi umum atau pribadi. kebanyakan dari mahasiswa yang tinggal di perkotaan memiliki sepeda motor sebagai alat transportasi yang murah, sekaligus sebagai sarana mudik atau pulang kampung. jalan raya semakin hari semakin padat dan benyak menimbulkan berbagai kecelakaan. untuk itu kita harus berhati-hati dan mentaati peraturan agar kita selamat dalam perjalanan sampai tujuan.

Ada beberapa tips agar kita selamat dan aman dalam berkendara. Seperti :

1. Periksa sepeda motor anda sebelum bepergian.
  - cek tekanan angin ban depan dan belakang
  - cek mur dan baut jikalau ada yang longgar
  - servis sepeda motor anda jika perlu
  - cek kelengkapan surat sepeda motor
  - perkirakan pengisian bahan bakar sepeda motor
  - sediakan jas hujan dan sarung tangan



2. Kesiapan diri
  - jagalah kesehatan anda sebelum bepergian
  - gunakan helm yang tepat dan nyaman
  - gunakanlah jaket, sarung tangan dan sepatu.
  - periksa bawaan anda ; tas dan dompet
  - sediakan minuman dan obat jikalau merasa kurang nyaman saat berkendara
  - bawa barang seadanya dan tidak berlebihan

3. sebaiknya cari rute jalan yang nyaman dan aman

4. nyalakan lampu agar terlihat dari jauh

5. jaga jarak,
    selalu membuat jarak dengan kendaraan di sekeliling. apalagi jika berkendara laju maka jarak dengan        kendaraan lain harus jauh agar tidak bertubruk.

6. berkendaralah pada siang hari

7.  Pada saat berkendara dengan pembonceng, pengemudi harus dapat mengatur pergerakan titik berat keduanya agar seirama dengan pergerakan motor. Apabila tidak, maka keseimbangan motor akan terganggu khususnya pada saat menikung/miring. Untuk memudahkan pengemudi, pembonceng harus duduk menghadap kedepan searah dengan pengemudi dan berpegangan kepada pengemudi sehingga pergerakan pembonceng akan mengikuti pergerakan pengemudi. Posisi duduk pembonceng yang di belakang akan lebih dekat ke roda dan rantai, sehingga hindari menggunakan celana yang berumbai atau rok lebar sehingga berpotensi tersangkut kedalam roda atau rantai.

8. Taati peraturan lalu lintas

9. jika hujan sebaiknya berhenti, tapi bila diteruskan harus memperhatikan hal-hal berikut:
    - jangan menggas secara mendadak
    - jangan laju saat belokan
    - rem secara perlahan
    - waspadai sekitar
    - perhatikan jarak pandang

10. jangan ugal-ugalan

11. jika ingin mendahului mobil maka kita harus melihat sebelah kanan dan kiri mobil itu. jikalau tidak ada halangan maka boleh mendahului dengan menyalakan rihting/lampu kiri-kanan dan menyalakan klakson

12. jagalah kesopanan dengan pengendara lain

13. selalu berhati-hati dan berdo'a

Friday, December 16, 2011

Tips Menghapal Ayat Al Qur'an

Dalam kehidupan kita sehari-hari kita tidak pernah luput dari kegiatan menghapal, baik menghapal bahan kuliah, materi acara, materi pelajaran, bahan masak, dan lain-lain. menghapal adalah salah satu cara kita dalam menguasai suatu bahan atau materi untuk membantu kita dalam suatu kegiatan.

kali ini saya akan membagi Tips bagaimana cara menghapal ayat al Qur'an dengan baik dan lancar. disimak ya satu persatu:

  1. Dalam menghapal harus konsisten dan terus menerus
  2. Bacalah ayat/surah alQur'an tersebut sampai selesai dan dilakukan secara berulang-ulang.
  3. Bacalah secara perlahan dan teliti.
  4. Dihapal per bagian, misalnya surah AsSajadah 30 ayat, di hapal per 1 ayat dan terus ditambah ayatnya ketika hapal ayat sebelumnnya, dengan tetap membaca dari awal.
  5. ketika menghapal langsung dilihat hurufnya satu persatu
  6. ulangi hapalan itu minimal 30x
  7. apabila sudah hapal dan lancar, tuliskan kembali hapalan tersebut tanpa melihat ayat/surah alQur'an.
  8. apabila bacaannya dan tulisannya benar semua maka itulah yang benar-benar dikatakan hapal dari segi bacaannya dan bisa dikatakan hapalan sempurna.

sumber :
Saya sendiri( Saidi Alfianor)
Ustadz Putra Ramadhan

Thursday, December 15, 2011

Psikologi Agama -- Problema Keimanan

BAB I
PENDAHULUAN
Agama menyangkut kehidupan batin manusia. Oleh karena itu kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang lebih menggambarkan sisi-sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan dunia ghaib. Dari kesadaran agama dan pengalaman agama ini pula kemudian munculnya sikap keagamaan yang ditampilkan seseorang.
Pada garis besarnya teori mengungkapkan bahwa sumber jiwa keagamaan berasal dari faktor intern dan dari faktor ekstren manusia. Pendapat pertama menyatakan bahwa manusia adalah homo relegius (makhluk beragama) karena manusia sudah memiliki potensi untuk beragama. Potensi tersebut bersumber dari factor intern manusia yang termuat dalam aspek kejiwaaan manusia seperti naluri, akal, perasaan, maupun kehendak dan sebagainya. Namun pendukung teori ini masih berbeda pendapat mengenai faktor mana yang paling dominan.


BAB II
PEMBAHASAN
PROBLEMA KEIMANAN
A.    Kualifikasi keimanan
Menghadapi permasalahan pertama mengenai kadar kekokohan keimanan seseorang dalam agamanya, W.H. Clark, (1969, 220-224) mengidentifikasi empat tingkat keimanan, yaitu :
1.      Keimanan yang verbalistik
2.      Keimanan yang intelektualistik
3.      Keimanan yang demonstratif
4.      Keimanan yang komprehensif integrative
Garis besar orientasi keempat tingkat keimanan tersebut dapat diurutkan sebagai berikut :
1.      Keimanan yang verbalistik
Keimanan yang verbalistik, dimulai perkembangannya sejak usia anak-anak. Dilihat dari bentuknya, keimanan tingkat ini terbatas pada pemahaman mengenai ucapan-ucapan serta kata-kata majis keagamaan. Proses penerimaannya langsung melalui prinsip stimjulus-stimulus. Karena itu, proses pembelajarannya berlangsung secara persuasif yang melibatkan orang tua memberi contoh pengucapan suatu ucapan keagamaan, kemudian anak mengulangi dan menirukannya, dan akhirnya anak diberi sesuatu sebagai hadiah atas kemampuannya.
Meskipun tipe keimanan seperti ini dikatakan mulai berkembang pada masa anak, namun tidak berarti akan tuntas dengan berakhirnya masa itu, sehingga banyak juga mereka yang sudah dewasa tapi tipe keyakinannya masih berada pada fase ini. Satu hal yang perlu dicatat bahwa juntuk memperlancar proses ini diperlukan adanya otoritas, sugesti, tekanan sosial serta pengamatan atau monitoring yang seksama. Pantaslah psikologinya apabila seseorang telah mampu mengekspresikan ucapan-ucapan keagamaan seperti itu sesuai dengan kondisi stimulusnya, mereka akan merasa lelah memperoleh jaminan perlindungan dari orang tuanya atau dari orang lain yang dipandang menguasainya. Hal itu berarti bahwa fase keimanan seperti ini hanya sekedar diarahkan untuk memperoleh jaminan keselamatan dan keamanan psikologis semata-mata.
2.      Keimanan yang intelektualistik
Tingkat ini sudah melibatkan pertimbangan proses berfikir secara kreatif yang lebih sulit dalam mencari kebenaran iman dibanding dengan tingkat yang pertama diatas. Pada tingkat ini orang terikat oleh kelogisan dan alsan-alasan yang masuk akal dalam upaya menerima keyakinan. Akan tetapi penerimaan keyakinan secara intelektual itu tidak berarti semata-mata intelektual. Artinya sampai batas tertentu memang diperlukan tuntutan kelogisan dalam upaya menerima keyakinannya. Selebihnya perlu dipermasalahkan apakah keyakinan agama itu dicapai melalui proses berfikir murni, sebagaimana tidak perlu sepenuhnya keyakinan agama itu dikaitkan dengan kenyataan hidup.
Pada pihak lain, kadar keterlibatan intelektual dalam tipe dan tingkat keyakinan ini diorientasikan pada bukti-bukti adanya tuhan, baik secara ontologi, kosmologi, theologi, maupun secara pragmatik.
Bukti-bukti ontologi didasarkan atas ide dan pemikiran manusia tentang tuhan. Bukti kosmologi berlandaskan pada pemikiran bahwa tuhan adalah maha pencipta. Dan harus ada karena ada alam ciptaannya. Sementara secara theology, bukti-buktinya didasarkan atas kesadaran mengenai bedanya pencipta dengan makhluk-Nya. Karena itu tuhan adalah maha mengetahui dan maha bijaksana. Akhirnya bukti pragmatik mengenai keyakinan adanya tuhan berakar pada pemahaman manusia bahwa keyakinan itu dapat membawa pada hasil-hasil baik, menguntungkan dan menyenangkan.
3.      Keimanan yang demonstratif
Pada tingkat ini keimanan lebih banyak diwujudkan dalam bentuk tingkah laku dan pengalaman agama secara demonstrativa dari pada hanya dalam bentuk kata-kata. Manifestasi keimanan disini berbeda dibanding dengan tingkat keimanan yang bersifat verbalistik maupun yang bertipe intelektualistik. Dasar pemikirannya adalah bahwa tingkah laku dan pengalaman agama yang ditampilkan secara demonstrative belum tentu didahului oleh analisis tentang keyakinan itu akan menjadi penyebab munculnya pengalaman ajaran agama. Sebabnya adalah bahwa tingkah laku dan pengamalan agama disini hanya merupakan kebiasaan yang sudah melekat dalam aktifitas kehidupan sehari-hari. Jadi seorang muslim yang karena kebiasaannya sejak kecil secara otomatis mengerjakan sholat lima waktu apabila telah datang waktunya tidak berarti pengamalannya didasarkan atas hasil analisisnya mengenai besarnya keyakinan yang melandasi tindakannya. Hanya saja karena pengalaman ajaran agama menuntut keterlibatan organisme, maka hal itu biasanya mengundang keseganan dan malas mengerjakannya.
Akibatnya amal yang diperbuatnya itu dirasakan seolah-olah ada tekanan dan paksaan. Atau bersembunyi sehingga manimbulkan rasa berdosa apabila tidak melaksanakannya. Namun demikian dibandingkan dengan dua tingkat dibawahnya.
Keimanan yang diwujudkan dalam bentuk pengamalan ini dipandang lebih tinggi, mengingat konsekuensi keimanan lebih berorientasi pada tuntutan pengamalan dari pada hanya dibuktikan dalam bentuk keterlibatan mental semata-mata.
Apalagi didasari bahwa tidak semua masalah keimanan dapat dilogokakan, tetapi sebaliknya pembuktian suatu pengakuan dalam bentuk tindakan konkrit merupakan satu prinsip yang berlaku dalam kebanyakan lapangan kehidupan.
Lebih tinggi lagi kalau dibandingkan dengan keimanan yang bertipe verbalistik, sebab kadar kesadarannya masih digantungkan pada perolehan materi sebagai hadiah atas kemampuannya
4.      Keimanan yang komprehensif dan integratif
Ketiga tipe dan tingkat keimanan diatas nampak perwujudannya dalam bentuk ekspresi partikel yang satu sama lainnya terpisah. Justru karena keterpisahan itu, maka ketiganya tidak dapat memberikan kepuasan kepada pemiliknya, mengingat masing-masing mengandung kepincangan. Lain halnya apabila ketiga tipe tersebut menyatu dan terinternalisasi pada diri orang yang beragama, barulah akan dicapai keimanan yang komprehensif dan integrative.
Jelasnya apabila seseorang telahmenguasai ungkapan-ungkapan keagamaan, kemudian dipahami dan disadari kebenaran isi kandungannya, baik dalam kaitan dengan tuntutan hidup lahiriyahnya maupun kelogisan ketergantungannya terhadap keyakinan sebagai esensi agama, dan akhirnya dipantulkan dalam wujud pengamalan ajaran agama, maka tercapailah tingkat keimanan yang keempat ini. Konotasi komprehensipnya dapat dilihat dari pemahaman dan kesadaran atas berkumpulnya ketiga tipe keimanan diatas dalam segi totalitas yang berinternalisasi pada individu yang bersangkutan. Sedang orientasi integrasinya dapat dipahami dari kenyataan bersambungnya dan saling memperkuat antara keimanan verbal yang diinternalisasi karena dipahami melalui proses berpikir kritis, dan kreatif, serta akibat kesadarannya itu terpatri tuntutan untuk mewujudkannya dalam bentuk tingkah laku nyata.
Tentu saja konsepional tipe keimanan yang keempat ini merupakan gambaran kualifikasi keimanan yang tertinggi. Namun hal ini tidak berarti bahwa semua orang yang memiliki tipe keimanan ini akan benar-benar dalam dan sempurna, sehingga seolah-olah melahirkan kekokohan keimanan yang tidak dapat diganggu gugat.

B.     Faktor-faktor penyebab problema keimanan
Menurut Kalish mengidentifikasikan lima hal yang dapt mendongkel ketegaran keimanan orang yang beragama yaitu :
1.      Kontradiksi antara ilmu dan agama
2.      Akibat mempelajari agama lain
3.      Kesulitan membatasi kebebasan agama
4.      Masalah tujuan hidup
5.      Arti mati dan hidup sesudah mati
1.      Pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama
Dilihat dari pemanfaatannya oleh manusia, memang terdapat kesesuaian antara ilmu pengetahuan dan agama. Secara esensial kehadiran ilmu itu dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh umat manusia. Karena itu kehadiran dan pengembangannya menurut kebebasan, kelugasan, dan kerasionalan ilmu pengetahuan juga menuntut dan melahirkan arus informasi yang lebih intensif, sehingga dapat merangsang usaha bersama untuk menjadikan penelitian-penelitian ilmiah lebih relevan dengan kebutuhan umat manusia dan meyakinkan semua negara mengenaikeadaan dan perkembangannya, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan termasuk perkembangan dan pengetahuan dan teknologinya sendiri.
Ilmu pengetahuan yang mendasarkan perkembangannya pada keraguan, sehingga setiap kenyataan selalu mengundang pertanyaan dan menuntut pembuktian, sementara agama bertolak dari keyakinan bahwa tuhan itu ada dan semua kenyataan itu diciptakan oleh tuhan.

Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendororng untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama.
C.    Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah Laku
Dalam pengertian umum sikap dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi afektif terhadap obyek tertentu berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan individu (Mar’at:19). Dengan demikian sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman seseorang dan bukan sebagai pengaruh bawaan (factor intern) seseorang, serta tergantung kepada obyek tertentu. Obyek sikap oleh Edward disebut sebagai psychological object.(Mar’at:21)
Menurut Prof.Dr. Mar;at, meskipun belum lengkap Allport telh menghimpun sebanyak 13 pengertian mengenai sikap. Dari 13 pengertian itu dapat dirangkum menjadi 11 rumusan mengenai sikap. Rumusan tersebut adalah bahwa:
1.      Sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus menerus dengan lingkungan.
2.      Sikap selalu dihubungkan dengan obyek seperti manusia, wawasan,peristiwa maupun ide.
3.      Sikap diperoleh dalam berientraksi dengan manusia lain baik di rumah, di sekolah, tempat ibadah ataupun tempat lainnya melalui nasehat, teladan atau percakapan.
4.      Sikap sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap obyek.
5.      Bagian yang dominan dari sikap adalah peraksaaan dan afektif seperti yang tampak dalam menetukan pilihan apakah positif, negative atau ragu.
6.      Sikap memiliki tingkat intensitas terhadap obyek tertentu yakni kuat atau lemah.
7.      Sikap bergantung pada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu mungkin sesuai sedangkan di saat dan situasi yang berbeda belum tentu cocok.
8.      Sikap dapat bersikap relative dalam sejarah hidup individu.
Sikap merupakan predisposisi untuk bertindak senang ataiu tidak senang terhadap obyek tertentu yan mencakup komponen kognisi, afeksi dan konasi. Dengan demikian sikap merupakan interaksi dari komponen-komponen tersebut secara kompleks.
Tiga komponen psikologi yaitu kognisi, afeksi dan konasi yang bekerja secara kompleks merupakan bagian yang menetukan sikap seseorang terhadap suatu objek, baik yang berbentuk konkrit maupun obyek atau abstrak. Komponen kognisis akan menjawab tentang apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang obyek. Komponen afeksi dikaitkan dengan apa yang dirasakan terhadap obyek. Dengan demikian sikap yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses berfikir, merasa dan pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap suatu obyek.

D.    Sikap Keagamaan yang Menyimpang.
Sikap keagamaan yang menyimpang terjadi bila sikap seseorang terhadap kepercayaan dan keyakinan terhadap agama yang dianutnya mengalami perubahan. Sikap keagamaan yang menyimpang merupakan masalah pada tingkat tertentu dapat menimbulkan tindakan yang negative dari tingkat yang terendah sehingga ke tingkat yan paling tinggi, seperti sikap regresif (menarik diri) sehingga ke sikap yang demostratif (unjuk rasa). Sikap menyimpang seperti itu umumnya berpeluang untuk terjadi dalam diri seseorang maupun kelompok pada setiap agama. Perseteruan antaragama yang terjadi seperti peristiwa Perang Salib, muncuknya gerakan IRA di Inggris, hingga ke aliran-aliran keagamaan yang dianggap menyimpang misalnya Children of God di Amerika ataupun sekte kiamat di Jepang yang dinamakan kelompoknya Aum Shinrikyo (kebenaran tertinggi) baru-baru ini.
Sikap keagamaan yang menyimpang dapat terjadi bila terjadi penyimpangan pada kedua tingkat piker dimaksud, sehingga  dapat member  kepercayaan dan keyakinan baru pada seseorang atau kelompok. Dengan demikian sikap keagamaan yang menyimpang cenderung didasarkan pada motif yang bersifat emosional yang lebih kuat ketimbang aspek rasional.

E.     Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Keagamaan yang Menyimpang.
Sikap berfungsi untuk menggugah motif untuk bertingkah laku, baik dalam bentuk  tingkah laku nyata, maupun tingkah laku tertutup. Dengan demikian sikap mempengaruhi dua benrtuk reaksi seseorang terhadap obyek, yaitu dalam bentuk nyata dan terselubung. Karena sikap diperoleh dari hasil belajar atau pengaruh lingkungan, maka sikap dapat diubah, walaupun sulit.
Beberapa teori psikologi mengungkapkan mengenai perubahan sikap tersebut antara lain teori stimulus dan respon, teori pertimbangan social, teori konsistensi dan teori fingsi. Masing-masing teori didasarkan atas pendekatan aliran psikologi tersebut. Teori stimulus dan respon yang memandang manusia sebagai organism menyamakan perubahan sikap dengan proses belajar. Menurut teori ini ada tiga variable yang mempengaruhi terjadinya perubahan sikap, yaitu perhatian, pengertian dan penerimaan.
Teori pertimbangan social melihat perubahan sikap dari pendekatan psikologi social. Menurut teori ini perubahan sikap ditentukan oleh factor internal dan factor eksternal. Factor internal yang mempengaruhi perubahan sikap, yaitu: 1. Persepsi social, 2. Posisi social dan proses belajar social. Sedangkan factor eksternal terdiri dari atas: 1. Factor penguatan, 2. Komunikasi persuasive, dan 3. Harapan yang diinginkan. Perubahan sikap menurut teori ini ditentukan oleh keputusan-keputusan social sebagai hasil interaksi factor internal dan eksternal.
Teori konsistensi menurut teori ini perubahan sikap lebih ditentukan oleh factor intern, yang tujuannya untuk menyeimbangkan antara sikap dan perbuatan. Keempat fase dalam proses terjadinya perubahan sikap itu adalah:
1.      Munculnya persoalan yang dihadapi.
2.      Munculnya beberapa pengertian yang harus dipilih.
3.      Mengambil keputusan berdasarkan salah satu pengertian yang dipilih.
4.      Terjadi keseimbangan.






BAB II
PENUTUP
KESIMPULAN
A.    Kualifikasi keimanan
Menghadapi permasalahan pertama mengenai kadar kekokohan keimanan seseorang dalam agamanya, W.H. Clark, (1969, 220-224) mengidentifikasi empat tingkat keimanan, yaitu :
1.      Keimanan yang verbalistik
2.      Keimanan yang intelektualistik
3.      Keimanan yang demonstratif
4.      Keimanan yang komprehensif integrative
B.     Faktor-faktor penyebab problema keimanan
Menurut Kalish mengidentifikasikan lima hal yang dapt mendongkel ketegaran keimanan orang yang beragama yaitu :
1.      Kontradiksi antara ilmu dan agama
2.      Akibat mempelajari agama lain
3.      Kesulitan membatasi kebebasan agama
4.      Masalah tujuan hidup
5.      Arti mati dan hidup sesudah mati
C.    Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah Laku
Menurut Prof.Dr. Mar;at, meskipun belum lengkap Allport telh menghimpun sebanyak 13 pengertian mengenai sikap. Dari 13 pengertian itu dapat dirangkum menjadi 11 rumusan mengenai sikap. Rumusan tersebut adalah bahwa:
1.      Sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus menerus dengan lingkungan.
2.      Sikap selalu dihubungkan dengan obyek seperti manusia, wawasan,peristiwa maupun ide.
3.      Sikap diperoleh dalam berientraksi dengan manusia lain baik di rumah, di sekolah, tempat ibadah ataupun tempat lainnya melalui nasehat, teladan atau percakapan.
4.      Sikap sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap obyek.
5.      Bagian yang dominan dari sikap adalah peraksaaan dan afektif seperti yang tampak dalam menetukan pilihan apakah positif, negative atau ragu.
6.      Sikap memiliki tingkat intensitas terhadap obyek tertentu yakni kuat atau lemah.
7.      Sikap bergantung pada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu mungkin sesuai sedangkan di saat dan situasi yang berbeda belum tentu cocok.
8.      Sikap dapat bersikap relative dalam sejarah hidup individu.
D.      Sikap Keagamaan yang Menyimpang
Sikap keagamaan yang menyimpang dapat terjadi bila terjadi penyimpangan pada kedua tingkat piker dimaksud, sehingga  dapat member  kepercayaan dan keyakinan baru pada seseorang atau kelompok. Dengan demikian sikap keagamaan yang menyimpang cenderung didasarkan pada motif yang bersifat emosional yang lebih kuat ketimbang aspek rasioanl.
E.     Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Keagamaan yang Menyimpang.
Sikap berfungsi untuk menggugah motif untuk bertingkah laku, baik dalam bentuk  tingkah laku nyata, maupun tingkah laku tertutup. Dengan demikian sikap mempengaruhi dua benrtuk reaksi seseorang terhadap obyek, yaitu dalam bentuk nyata dan terselubung. Karena sikap diperoleh dari hasil belajar atau pengaruh lingkungan, maka sikap dapat diubah, walaupun sulit.
 
 

DAFTAR PUSTAKA
Dr.Jalaluddin, “Psikologi Agama”,PT RajaGrafindo Persada;Jakarta,1997.

Psikologi Agama -- Perkembangan Jiwa Agama pada Usia Lanjut

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Psikologi Agama terdiri dari dua paduan kata, yakni psikologi dan agama. Kedua kata ini mempunyai makna yang berbeda. Psikologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab. Sedangkan agama memiliki sangkut paut dengan kehidupan batin manusia. Menurut Harun Nasution, agama berasal dari kata Al-din yang berarti undang-undang atau hukum, religi (latin) atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca.
Dari definisi tersebut, psikologi agama meneliti dan menalaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku, serta keadaan hidup pada umumnya, selain itu juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut.
Sikap keberagamaan pada orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu, sikap keberagamaan ini pada umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengertian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutanya. Beragama bagi orang dewasa sudah merupakan sikap hidup dan bukan sekedar ikut-ikutan. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini, kami akan membahasnya secara detail mengenai perkembangan jiwa keberagamaan pada usia lanjut.




BAB II
PEMBAHASAN
(PERKEMBANGAN JIWA AGAMA PADA LANJUT USIA)
A.   Pengertian
Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai mati, yang ditandai dengan adanya perubahan dan bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun. Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan penyesuaian pribadi dan sosialnya adalah sebagai berikut: perubahan yang menyangkut kemampuan motorik, perubahan kekuatan fisik, perubahan dan fungsi psikologis, perubahan dalam sistem syaraf, perubahan penampilan. Ciri-ciri usia lanjut cenderung menuju dan membawa penyesuaian diri yang buruk daripada yang baik dan kepada kesengsaraan daripada kebahagiaan. Itulah sebabnya mengapa usia lanjut lebih ditakuti daripada usia madya dalam kebudayaan Amerika.
Adapun ciri-ciri usia lanjut yang lain adalah :
·       Usia lanjut merupakan periode kemunduran
·         Perbedaan individual pada efek menua
·         Pelbagai stereotype orang lansia
·         Orang lansia mempunyai status kelompok-minoritas
·         Menua membutuhkan perubahan peran
·         Penyesuaian yang buruk merupakan ciri-ciri usia lanjut.1
B.   Perlakuan terhadap Usia Lanjut Menurut Islam
              Manusia usia lanjut dalam penilaian banyak orang adalah manusia yang sudah tidak produktif lagi. Kondisi fisik rata-rata sudah menurun, sehingga dalam kondisi yang sudah uzur ini berbagai penyakit siap untuk menggerogoti mereka. Dengan demikian, di usia lanjut ini terkadang muncul semacam pemikiran bahwa mereka berada pada sisa-sisa umur menunggu datangnya kematian.
_________________________
      1 Imron Fauzi. Wordpress. Com/ psikologi – Agama – pada orang dewasa/-
         13 februari 2009.                                                                 
Gejala psikologis yang ditampilkan manusia usia senja ini adalah berupa pernyataan-pernyataan kontraversial dan kritik terhadap hasil kerja generasi muda. Mereka seakan sulit untuk mengemukakan pujian terhadap sukses maupun prestasi yang dicapai oleh generasi muda ini dalam berbagai bidang. Oleh karena itu, kelompok usia ini sulit hidup akur dan berdampingan dengan generasi muda. Ada semacam kecenderungan dalam diri mereka untuk senantiasa dipuji dan dibanggakan.
Di lingkungan peradaban Barat, upaya untuk memberi perlakuan manusiawi kepada para manusia usia lanjut dilakukan dengan menempatkan mereka dip anti jompo. Di panti ini para manusia usia lanjut itu mendapat perawatan yang intensif. Sebaliknya, di lingkungan keluarga, umumnya karena disibukan, tak jarang anak-anak serta sanak keluarga tak berkesempatan untuk memberikan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan para manusia usia lanjut tersebut.
Tradisi keluarga Barat umumnya menilai penempatan orang tua mereka ke panti jompo merupakan cerminan dari rasa kasih sayang anak kepada orang tua. Sebaliknya, membiarkan orang tua yang berusia lanjut tetap berada di lingkungan keluarga cenderung dianggap sebagai menelantarkannya. Sebab, umumnya para orang tua yang tinggal di lingkungan keluarga berada dalam kesendirian. Sedangkan di lingkungan panti jompo mereka selain dirawat juga dapat berkumpul dengan teman-teman sebaya, sesama manusia berusia lanjut. Dan dengan pernyataan adanya ikatan anak dan bapak, biasanya anak-anak mereka berkunjung pada kesempatan yang memungkinkan, seperti ketika hari libur.
Lain halnya dengan konsep yang dianjurkan oleh Islam. Perlakuan terhadap manusia usia lanjut dianjurkan seteliti dan setelaten mungkin. Perlakuan terhadap orang tua yang berusia lanjut dibebankan kepada anak-anak mereka, bukan kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo. Perlakuan terhadap orang tua menurut tuntutan Islam berawal dari rumah tangga. Allah menyebutkan pemeliharaan secara khusus orang tua yang sudah lanjut usia dengan memerintahkan kepada anak-anak mereka untuk memperlakukan kedua orang tua mereka dengan kasih sayang.
Sebagai pedoman dalam memberi perlakuan yang baik kepada kedua orang tua, Allah manyatakan:
Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS.17:23).
Dan firman Allah yang lain, yaitu:
Kasihilah keduanya sebagaimana mereka mengasihiku waktu kecil.2
C.   Agama Pada Usia Lanjut
Proses perkembangan manusia setelah dilahirkan secara fisiologis semakin lama menjadi lebih tua. Dengan bertambahnya usia, maka jaringan-jaringan dan sel-sel menjadi tua, sebagian regenerasi dan sebagian yang lain akan mati. Usia lanjut ini biasanya akan menghadapi berbagai persoalan. Persoalan pertama adalah penurunan kemampuan fisik hingga kekuatan fisik berkurang, aktifitas menurun, sering mengalami gangguan kesehatan yang menyebabkan mereka kehilangan semangat. Pengaruh dari semua itu, mereka yang berada dalam usia lanjut merasa dirinya tidak berharga lagi atau kurang dihargai.
Kehidupan keagamaan pada usia lanjut menurut hasil penelitian psikologi agama ternyata meningkat. Dari sebuah penelitian dengan sampel 1.200 orang berusia antara 60-100 tahun menunjukkan bahwa ada kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat. Sementara pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat baru muncul sampai 100% setelah usia 90 tahun.
Seringkali kecenderungan meningkatnya kegairahan dalam bidang keagamaan ini dihubungkan dengan penurunan kegairahan seksual. Menurut pendapat ini manusia usia lanjut mengalami frustasi dalam bidang seksual sejalan dengan penurunan kemampuan fisik. Frustasi semacam ini dinilai sebagai satu-satunya faktor yang mmebentuk sikap keagmaan. Pendapat ini disanggah oleh Thouless, yang beranggapan bahwa pendapat tersebut terlalu dilebih-lebihkan, sebab hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kegiatan seksual secara biologis boleh jadi sudah tidak ada, akan tetapi kebutuhan untuk dicintai dan mencintai tetap ada pada usia tua tersebut.
________________________
        2 Prof. Dr. H. Jalaluddin, Psikologi Agama Ed. Revisi (PT RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2007) hlm: 113-118
Hubungan antara suami dan istri yang telah sampai pada usia lanjut, misalnya, bukan kebutuhan seksual yang diperlukan, akan tetapi lebih pada hubungan sebagai teman atau sahabat dekat.
Menurut William James, usia keagamaan yang luar biasa tampaknya justru pada usia lanjut, ketika gejolak kehidupan seksual sudah berakhir. Pendapat tersebut di atas sejalan dengan realitas yang ada dalam kehidupan manusia usia lanjut yang semakin tekun beribadah. Mereka sudah mulai mempersiapkan diri untuk hidup di akhirat kelak. Dapat disebut sebagai contoh kecenderungan pengikut berbagai tarekat di Indonesia mayoritas pesertanya adalah mereka yang sudah berusia lanjut, atau paling tidak telah sampai pada usia menopause.
Masih dalam kajian yang sama, pada penelitian lain terungkap bahwa yang menentukan sikap keagamaan di usia lanjut di antaranya adalah depersonalisasi. Kecenderungan hilangnya identifikasi diri dengan tubuh dan juga cepatnya datangnya kematian merupakan salah satu faktor yang menentukan berbagai sikap keberagamaan di usia lanjut. Penelitian ini misalnya dilakukan oleh M. Argyle dan Elle A. Cohen.3
D.   Kematangan Beragama
Berbicara tentang kematangan beragama akan terkait erat dengan kematangan usia manusia. Perkembangan keagamaan seseorang untuk sampai pada tingkat kematangan beragama dibutuhkan proses yang panjang. Proses tersebut, boleh jadi karena melalui proses konversi agama pada diri seseorang atau karena berbarengan dengan kematangan kepribadiannya.
Kematangan atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya.  


_________________________________
        3Sururin, M.Ag.,Ilmu Jiwa Agama (PT RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2004) hlm: 88-90
E.    Ciri-Ciri Keagamaan pada Usia Lanjut
Secara garis besar ciri-ciri keberagamaan di usia lanjut adalah:
1.      Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2.      Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3.      Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh.
4.      Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antarsesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
5.      Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya.
6.      Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi (akhirat).









_________________________________
      4 Ibid, hlm: 90-91

BAB III
PENUTUP
A.   Simpulan
Ø  Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai mati, yang ditandai dengan adanya perubahan dan bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun.
Ø  Dalam konsep yang dianjurkan oleh Islam. Perlakuan terhadap manusia usia lanjut dianjurkan seteliti dan setelaten mungkin. Perlakuan terhadap orang tua yang berusia lanjut dibebankan kepada anak-anak mereka, bukan kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo. Perlakuan terhadap orang tua menurut tuntutan Islam berawal dari rumah tangga. Allah menyebutkan pemeliharaan secara khusus orang tua yang sudah lanjut usia dengan memerintahkan kepada anak-anak mereka untuk memperlakukan kedua orang tua mereka dengan kasih sayang.
Ø  Kehidupan keagamaan pada usia lanjut menurut hasil penelitian psikologi agama ternyata meningkat. Dari sebuah penelitian dengan sampel 1.200 orang berusia antara 60-100tahun menunjukkan bahwa ada kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat. Sementara pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat baru muncul sampai 100% setelah usia 90 tahun.
Ø  Kematangan atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya.  
Ø  Secara garis besar ciri-ciri keberagamaan di usia lanjut, diantaranya adalah:
1.         Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2.         Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3.         Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh.



DAFTAR PUSTAKA

*      Imron Fauzi. Wordpress. Com/ Psikologi – agama – pada orang dewasa/ - 13 Februari 2009 pada 3:34 pm.
*      Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, cet. I, 2004).
*      Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Ed. Revisi, 2007).

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites