Thursday, December 15, 2011

Psikologi Agama -- Perkembangan Jiwa Agama Pada Orang Dewasa


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Dengan melihat pengertian psikologi dan agama serta objek yang dikaji, dapatlah diambil pengertian bahwa psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari serta keadaan hidup seseorang pada umumnya.
Dengan ungkapan lain, psikologi agama adalah ilmu yang meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang yang menyangkut tata cara berpikir, bersikap, berkreasi dan bertingkah laku yang tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya.
Maka dalam kesempatan ini kami melihat fenomena dan sekaligus mengkaji serta memaksimalkan untuk memamparkan apa yang dialami oleh orang dewasa yang semakin merugikan diri sendiri dan ada juga yang beruntung. Karena pengalaman sejarah menunjukkan bahwa akibat dari memisahkan antara psikologi dan agama, telah terjadi kerugian yang tak dapat ditutup. Agama tanpa psikologi berakhir dengan kemandekan dan prasangka buta, dan tak dapat mencapai tujuan. Kalau tak ada psikologi, agama menjadi alat bagi orang-orang pandai yang munafik.
B. Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian dan seperti apa fase-fase dewasa?
2.    Bagaimana sikap orang dewasa dalam beragama dan layaknya seperti apa?
3.    Bagaimana perkembangan agama pada orang dewasa menurut persepektif ilmu jiwa?

C. Tujuan Penulisan
1.    Memahami pengertian dan fase-fase dewasa.
2.    Mengetahui sikap orang dewasa yang beragama yang semestinya.
3.    Mengetahui perkembangan agama pada orang dewasa menurut pandangan ilmu jiwa.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Fase-Fase Dewasa
Seperti halnya dengan remaja, untuk merumuskan sebuah definisi tentang kedewasaan tidaklah mudah. Hal ini karena setiap kebudayaan berbeda-beda dalam menentukan kapan seseorang mencapai status dewasa secara formal. Pada sebagian besar kebudayaan kuno, status ini tercapai apabila pertumbuhan pubertas telah selesai atau setidak-tidaknya sudah mendekati selesai dan apabila organ kelamin anak telah mencapai kematangan serta mampu berproduksi. Dalam kebudayaan Amerika, seorang anak dipandang belum mencapai status dewasa kalau ia belum mencapai usia 21 tahun. Sementara itu dalam kebudayaan Indonesia, seseorang dianggap resmi mencapai status dewasa apabila sudah menikah, meskipun usianya belum mencapai 21 tahun.[1]
Dilihat dari pandangan psikologis, maka istilah dewasa dicirikan dengan kematangan, baik kematangan kognitif, afektif maupun psikomotornya, yang mengacu kepada sikap bertanggung jawab.[2]
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa seseorang dapat disebut dewasa apabila telah sempurna pertumbuhan fisiknya dan mencapai kematangan psikologis sehingga mampu hidup dan berperan bersama-sama orang dewasa lainnya. Umumnya psikolog menetapkan sekitar usia 20 tahun sebagai awal masa dewasa dan berlangsung sampai sekitar usia 40-45 tahun, dan pertengahan masa dewasa berlangsung dari sekitar usia 40-45 sampai sekitar usia 65 tahun, serta masa dewasa lanjut atau masa tua berlangsung dari sekitar usia 65 tahun sampai meninggal.[3]

B.  Macam-Macam Kebutuhan
Manusia adalah makhluk yang eksploratif dan potensial. Dikatakan makhluk eksploratif, karena manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri baik secara fisik maupun psikis. Manusia disebut sebagai makhluk potensial, karena pada diri manusia tersimpan sejumlah kemampuan bawaan yang dapat dikembangkan.[4]
Manusia juga disebut sebagai makhluk yang memiliki prinsip tanpa daya, karena untuk bertumbuh dan berkembang secara normal manusia memerlukan bantuan dari luar dirinya.[5] Bantuan tersebut bisa berupa bimbingan dan arahan dari lingkungan sekitarnya. Bimbingan dan arahan dalam perkembangan tersebut diharapkan sejalan dengan kebutuhan manusia itu sendiri sesuai dengan potensi bawaannya. Jika bimbingan dan arahan yang diberikan tidak searah dengan potensi yang dimiliki maka bisa menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan manusia itu sendiri.
Perkembangan yang negatif tersebut akan terlihat dalam berbagai sikap dan tingkah laku yang menyimpang. Bentuk tingkah laku menyimpang ini terlihat dalam kaitannya dengan kegagalan manusia untuk memnuhi kebutuhan baik yang bersifat fisik maupun psikis. Sehubungan dengan hal itu, maka dalam mempelajari perkembangan jiwa keagamaan, perlu terlebih dahulu dilihat kebutuhan-kebutuhan manusia secara menyeluruh. Sebab pemenuhan kebutuhan yang kurang seimbang antara kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani akan menyebabkan timbulnya ketimpangan dalam perkembangan.[6]
Dalam bukunya Pengantar Psikologi Kriminal Drs. Gerson W. Bawengan, S.H. mengemukakan pembagian kebutuhan manusia berdasarkan pembagian sebagai berikut:
1. Kebutuhan individual terdiri dari:
a.    Homeostatis, yaitu kebutuhan yang dituntut tubuh dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Dengan adanya perimbangan ini maka tubuh akan tetap berada dalam keadaan mantap, stabil dan harmonis. Kebutuhan ini merliputi kebutuhan tubuh akan zat; protein, air, garam, mineral, vitamin, oksigen dan lainnya.
b.    Regulasi temperatur, penyesuaian tubuh dalam usaha mengatasi kebutuhan akan perubahan temperatur badan. Pusat pengaturannya berada di bagian otak yang disebut Hypothalmus. Ganguan regulasi temperatur akan menyebabkan tubuh mengalami gangguan.
c.    Tidur, kebutuhan manusia yang perlu dipenuhi agar terhindar gejala halusinasi.
d.   Lapar, kebutuhan biologis yang harus dipenuhi untuk membangkitkan energi tubuh sebagai organis. Lapar akan menyebabkan gangguan pada fisik maupun mental.
e.    Seks, kebutuhan seks sebagai salah satu kebutuhan yang timbul dari dorongan mempertahankan jenis.
f.     Melarikan diri yaitu: kebutuhan manusia akan perlindungan dan keselamatan jasmani dan rohani.
g.    Pencegahan yaitu: kebutuahan manusia untuk mencegah terjadinya reaksi melarikan diri.
h.    Ingin tahu (curiosity) yaitu: kebutuhan rohani manusia untuk ingin selalu mengetahui latar belakang kehidupannya.
i.      Humor yaitu: kebutuhan manusia untuk mengurangi rasa beban pertanggungjawaban yang dialaminya dalam bentuk verbal dan perbuatan.[7]

2. Kebutuhan sosial
Kebutuhan sosial manusia tidak disebabkan pengaruh yang datang dari luar (stimulus) seperti layaknya pada binatang. Karena bentuk kebutuhan pada manusia berbentuk nilai. Jadi kebutuhan itu bukan sekedar semata-mata kebutuhan biologis melainkan juga kebutuhan rohani.
Selanjutnya Dr. Zakiah Daradjat dalam bukunya Peranan Agama dalam Kesehatan Mental membagi kebutuhan manusia atas 2 kebutuhan pokok, yaitu:
a.    Kebutuhan Primer, yaitu kebutahan jasmaniah
b.    Kebutuhan Sekunder atau kebutuhan rohaniah: Jiwa dan sosial. Kebutuhan ini sudah dirasakan manusia sejak masih kecil.[8]
Selanjutnya beliau membagi kebutuhan sekunder yang pokok menjadi 6 macam, yaitu:
1) Kebutuhan akan rasa kasih sayang
Kurangnya rasa kasih sayang pada diri seseorang terutama pada anak-anak akan menyebabkan tembok pemisah antara mereka dengan orang tuanya.
2) Kebutuhan akan rasa aman
Tidak adanya rasa aman menyebabkan seseorang terganggu sikap integritas dirinya dengan masyarakat dan lingkungannya.
3) Kebutuhan akan rasa harga diri
Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang bersifat individual. Diabaikannya kebutuhan akan rasa harga diri ini cenderung menimbulkan sikap menyombongkan diri, ngambek, dan sebagainya.
4) Kebutuhan akan rasa bebas
Penyakuran rasa bebas ini merupakan upaya agar tercapai perasaan lega. Kehilangan rasa bebas akan  menyebabkan seseorang menjadi gelisah, tertekan baik fisik maupun mental.
5) Kebutuhan akan rasa sukses
Penyaluran kebutuhan ini akan menambah rasa harga diri. Pemberian tugas yang sesuai dengan kemampuan dan pengganjaran batin (remneration) merupakan usaha untuk menyalurkan rasa sukses.
6) Kebutuhan akan rasa ingin tahu
Kebutuhan akan rasa ingin tahu akan memenuhi kepuasan dalam pembinaan pribadi seseorang. Kebutuhan ini jika tidak disalurkan akan terarah kepada tindakan-tindakan negatif yang kurang dapat dipertanggungjawabkan.[9]
3. Kebutuhan manusia akan agama
Selain berbagai macam kebutuhan yang disebutkan diatas masih ada lagi kebutuhan manusia yang sangat perlu diperhatikan yaitu kebutahan terhadap agama. Karena manusia disebut sebagai makhluk yang beragama (homo religious).
Manusia selalu membutuhkan pegangan hidup yang disebut agama karena manusia merasa bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya yang maha kuasa tempat mereka berlindung dan memohon pertolongan. Hal semacam ini terjadi pada masyrakat moderen, maupun masyarakat primitif.[10]
C.  Perkembangan Beragama pada Orang Dewasa
Dengan berakhirnya masa remaja, maka berakhir pulalah kegoncangan-kegoncangan jiwa yang menyertai pertumbuhan remaja itu. Yang berarti bahwa orang yang telah melewati usia remaja, mempunyai ketentraman jiwa, ketetapan hati dan kepercayaan yang tegas, baik dalam bentuk positif, maupun negatif. Kendatipun demikian, dalam kenyataan hidup sehari-hari, masih banyak orang yang merasakan kegoncangan jiwa pada usia dewasa. Bahkan perubahan-perubahan kepercayaan dan keyakinan kadang-kadang masih terjadi saja. Keadaan dan kejadian-kejadian itu, sangat menarik perhatian ahli agama, sehingga mereka berusaha terus-menerus mengajak orang untuk beriman kepada Allah dan berusaha memberikan pengertian-pengertian tentang agama.[11]
Charlotte Buchler melukiskan tiga masa perkembangan pada periode prapubertas, dan periode pubertas dan periode adoselen dengan semboyan yang merupakan ungkapan batin mereka. Di periode prapubertas oleh Charlotte Buchler dengan kata-kata: “Perasaan saya tidak enak, tetapi tidak tahu apa sebabnya”. Untuk periode pubertas dilukiskannya sebagai berikut: “Saya ingi sesuatu, tetapi tidak tahu ingin akan apa”. Adapun dalam periode adoselen, ia mengemukakan dengan kata-kata: “Saya hidup dan saya tahu untuk apa”.[12]
Kata-kata yang digunakan Charlotte Buchler tersebut mengungkapkan betapa masih labilnya kehidupan jiwa anak-anak ketika menginjak usia menjelang remaja dan di usia remaja mereka. Sebaliknya saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya kemantapan jiwa mereka: “Saya hidup dan saya tahu untuk apa”, menggambarkan bahwa di usia dewasa orang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup. dengan perkataan lain, orang dewasa sudah memahami nilai-nilai yang dipilihnya dan berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipilihnya. Orang dewasa sudah memiliki identitas yang jelas dan kepribadian yang mantap.[13]
Sikap keberagamaan orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu sikap keberagamaan ini umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengertian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Beragama bagi orang dewasa sudah merupakan sikap hidup dan bukan sekadar ikut-ikutan.
Kestabilan dalam pandangan hidup beragama dan tingkah laku keagamaan seseorang, bukanlah kesetabilan yang statis. Melainkan kestabilan yang dinamis, di mana pada suatu ketika ia mengenal juga adanya perubahan-perubahan. Adanya perubahan itu terjadi karena proses pertimbangan pikiran, pengetahuan yang dimiliki dan mungkin karena kondisi yang ada.[14]
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka sikap keberagamaan pada orang dewasa antara lain memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.             Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekadar ikut-ikutan.
2.             Cenderung bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3.             Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4.             Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
5.             Bersikap lebih terbuka dan wawasan lebih luas.
6.             Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7.             Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakn ajaran agama yang diyakininya.
8.             Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.



BAB III
PENUTUP
Simpulan
Manusia memiliki bermacam ragam kebutuhan batin maupun lahir akan tetapi, kebutuhan manusia terbatas karena kebutuhan tersebut juga dibutuhkan oleh manusia lainnya. Karena manusia selalu membutuhkan pegangan hidup yang disebut agama karena manusia merasa bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya yang maha kuasa tempat mereka berlindung dan memohon pertolongan. Sehingga keseimbagan manusia dilandasi kepercayan beragama. sikap orang dewasa dalam beragama sangat menonjol jika, kebutuaan akan beragama tertanam dalam dirinya.
Kestabilan hidup seseorang dalam beragama dan tingkah laku keagamaan seseorang, bukanlah kesetabilan yang statis. Adanya perubahan itu terjadi karena proses pertimbangan pikiran, pengetahuan yang dimiliki dan mungkin karena kondisi yang ada. Tingkah laku keagamaan orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Beragama bagi orang dewasa sudah merupakan bagian dari komitmen hidupnya dan bukan sekedar ikut-ikutan.
Namun, masih banyak lagi yang menjadi kendala kesempurnaan orang dewasa dalam beragama. Kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya.




DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Zakiah. 1970. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Jalaluddin. 1997. Psikologi Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Mubin, dkk. 2006. Psikologi Perkembangan. Ciputat: Quantum Teaching.
Ramayulis. 2007. Psikologi Agama. Jakarta: Radar Jaya.


[1]Mubin, dkk, Psikologi Perkembangan, (Ciputat: Quantum Teaching, 2006), hal. 113-114.
[2]Loc. Cit.
[3]Ibid., hal. 115.
[4]Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), hal. 79.
[5]Loc. Cit.
[6]Ibid., hal. 80.
[8]Jalaluddin, Op. Cit., hal. 86.
[9]Ibid., hal. 87-88.
[11]Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1970), hal. 136-137.
[12]Jalaluddin, Op. Cit., hal. 93.
[13]Loc. Cit.
[14]Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Radar Jaya, 2007), hal. 65.

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites