Wednesday, December 29, 2010

Ushul Fiqh - Nasakh Mansuq

BAB I
 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
         Al Qur’an merupakan sumber ilmu yang takkan habis-habisnya untuk dikaji dan diteliti. Banyak cabang-cabang ilmu pengetahuan yang digali dari Al-Qur’an. Cabang-cabang ilmu tersebut antara lain : ilmu bahasa dan sastra, ilmu sosial, ilmu bumi dan alam, ilmu hitung, ilmu kesehatan,ilmu jiwa, ilmu teknologi, ilmu astronomi dan semuanya hanya bersumber pada Al-Qur’an.
Dalam makalah ini kami mencoba sedikit membahas tentang ilmu Nasakh, Mansukh ,Ta’arud, dan Tarjih yang cukup panjang pembahasannya namun, kami telah berusaha untuk lebih teliti dan jeli dalam mempelajarinya. Dengan harapan sebagai seorang muslim yang taat dan paham kita semakin memahami isi kandungan Al-Qur’an secara benar dan baik.












BAB I
PEMBAHASAN
A.NASAKH DAN MANSUQ
1.Pengertian Nasakh dan Mansuq
 Kata naasikh berasal dari kata naskh yang secara etimologi mengandung beberapa arti , yaitu menghapus dan menghilangkan ( al-izaalat) , mengganti dan menukar ( at-tabdiil), memalingkan (at-tahwiil) , dan menukilkan dan memindahkan (an-naql). Jadi naasikh adalah sesuatu yang menghapus, mengganti dan membatalkan atau yang tidak memberlakukan . adapun mansuukh adalah sesuatu yang dihapus , diganti dan dibatalkan atau yang tidak diberlakukan[1].
              Sedangkan secara terminologi arti nasikh dan mansukh adalah membatalkan pelaksanaan hukum syara dengan dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan penghapusannya secara jelas atau implisit (dhimni). Baik penghapusan itu secara keseluruhan atau sebagian, menurut kepentingan yang ada. Atau melahirkan dalil yang datang kemudian yang secara implisit menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu [2].
Pengertian naskh secara terminlogi digolongkan ke dalam dua golongan yaitu :
1. Menurut ulama Mutakadimin (abad ke 1 hingga abad ke 3 H) arti nasikh dan mansukh dari segi terminologi mencakup :
a. pembatalan hukum yang ditetapkan kemudian
b. pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.
c. penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang belum jelas(samar), dan penetapan syarat terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat[3]
Di samping itu ada pula yang berpendapat bahwa istilah tersebut berarti pembatalan ketetapan hukum yang ditetapkan pada suatu kondisi tertentu oleh ketetapan lain yang berbeda akibat munculnya kondisi lain. Misalnya, perintah agar kaum muslimin pada periode Mekkah bersabar karena kondisi mereka lemah telah di naskh oleh adanya perintah berperang pada periode Madinah karena kondisi mereka sudah kuat. Bahkan ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa sebelum Islam termasuk dalam pengertian naskh.[4]
2. Menurut ulama Muta`akhirin ( setelah abad 3 H) mempersempit pengertian yang luas itu. Menurut mereka, naskh adalah ketentuan hukum yang datang kemudian untuk membatalkan masa berlakunya hukum terdahulu. Artinya , ketetapan hukum yang terdahulu tidak berlaku lagi dengan adanya ketetapan hukum yang baru.[5]
2. Macam-macam Naskh
1. Al-Qur`an dengan al-Qur`an
Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh . misalnya ayat tentang idah empat bulan sepuluh hari. Allah SWT berfirman
Artinya : ” Dan orang –orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri ,hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya , (yaitu ) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri) , maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma`ruf terhadap diri mereka . Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS.al-Baqarah/2: 240)
Artinya : ” Orang orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat ”. (QS.al-Baqarah/2:234).

Ada yang berpendapat bahwa ayat pertama muhkam, sebab ia berkaitan dengan pemberian wasiat bagi istri jika istri itu tidak keluar dari rumah suami dan tidak kawin lagi. Sedangkan ayat ke dua berkenaan dengan masalah idah. Dengan demikian maka tidak ada pertentangan antara kedua ayat itu. 
2. Al-Qur`an dengan Sunnah
Naskh ini ada dua macam yaitu:
a. Naskh al-Qur`an denga Hadits Ahad
Jumhur ulama berpendapat bahwa al-qur`an tidak boleh dinaskh oleh hadits adad , karena al-qur`an adalah mutawatir dan menunjukan yakin , sedangkan hadits ahad dzanni , bersifat dugaan , disamping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma`lum (jelas diketahui) dengan yang madznun (diduga)

b. Naskh al-Qur`an dengan Hadits Mutawatir
Naskh demikian dibolehkan oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing masing keduanya adalah wahyu dan naskh itu sendiri merupakan salah satu penjelasan.  Allah berfirman
Artinya : “ Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS. An-Najm/53: 3-4)
Artinya : “ Keterangan –keterangan (mu`jizat) dan kitab kitab. Dan kami turunkan kepadamu al-Qur`an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (QS.an-Nahl/16:44)

3. Sunnah dengan al-Qur`an
Naskh ini dibolehkan oleh jumhur ulama . [8] Misalnya masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan sunnah dan di dalam al-qur`an tidak terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan itu dinaskh oleh al-qur`an dengan firmannya :
Artinya : “ Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai . Palingkanlah mukamu kea rah masjidil haram . Dan di mana saja kamu berada , palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang orang (yahudi dan nasrani) yang diberi al-Kitab (taurat dan injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke masjidil haram itu adalah benar dari tuhannya dan Allah sekali kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan (QS. Al-Baqarah/2: 144)

4. Sunnah dengan Sunnah
Naskh dalam kategori ini terdapat empat bentuk
a. Sunnah mutawatir dengan sunnah mutawatir
b. Sunnah ahad denga sunnah ahad
c. Sunnah ahad dengan mutawatir
d. Sunnah mutawatir dengan sunnah ahad
Bentuk a,b dan c diperbolehkan sedangkan bentuk d terjadi silang pendapat seperti halnya naskh al-qur`an dengan hadits ahad , yang tidak diperbolehkan oleh jumhur ulama .

3. Bentuk - bentuk naskh
Naskh dalam al-Qur`an dibagi ke dalam 4 jenis: [4]
1. Naskh sarih, yaitu ayat ayat yang secara tegas menghapuskan hukum yang terdapat dalam ayat terdahulu. Misalnya QS.al-Anfal :65-66, ayat tentang perang yang mengharuskan perbandingan antara muslim dan kafir adalah 1: 10 di-naskh dengan ayat yang mengharuskan hanya 1: 2 dalam masalah yang sama.
2. Naskh dimni , yaitu bila ada ketentuan hukum ayat yang terdahulu tidak bisa dikompromikan dengan ketentuan hukum ayat yang datang kemudian dan ia menasakh ayat yang terdahulu . Misalnya, ayat tentang kewajiban wasiat kepada ahli waris yang dianggap mansukh oleh ayat waris.
3. Naskh Kulli , yaitu menasakh hukum ynag datang sebelumnya secara keseluruhan . Misalnya ketentuan hukum Idah satu tahun bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yang di-naskh dengan idah 4 bulan 10 hari
4. Naskh Juz`i yaitu menaskh hukum yang mencakup seluruh individu dengan hukum yang mencakup sebagian individu , atau menasakh hukum yang bersifat mutlak dengan hukum yang bersifat mubayyad (terbatas) . Misalnya
Artinya : ” Dan orang orang menuduh wanita wanita yang baik baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi , maka deralah mereka (orang yang menuduh itu) delapan puluh kali dera. Dan janaganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama lamanya. Dan mereka itulah orang orang fasiq (4). Kecuali orang –orang yang bertaubat sesudah itu , dan memperbaiki (dirinya) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang orang yang menuduh istrinya(berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi saksi selain diri mereka sendiri , maka persaksian orang itu adalah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang orang yang benar”. (QS. An-Nur /24: 4-6)
QS. An-Nur /24: 4 di atas menyatakan bahwa orang yang menuduh seorang wanita berzina tanpa menghadirkan 4 orang saksi hukumnya didera 80 kali. Ayat 4 dari surat an-Nur di atas di-naskh oleh ayat 6 ayat yang menjelaskan bahwa jika menuduh itu suminya sendiri, maka hukumnya tidak didera tetapi dilakukan saling sumpah antara keduanya.

4. manfaat mengetahui Naskh 
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh sangat besar manfaatnya bagi bagi para ahli ilmu, terutama fuqaha, mufassir dan ahli ushul, agar pengetahuan tentang hukum tidak kacau dan kabur. Oleh sebab itu terdapat banyak asar (perkataan sahabat atau tabiin) yang mendorong agar mengetahui masalah ini. Mereka harus mengetahui keterangan keterangan yang tegas yang pernah disampaikan oleh Rasulullah dan para sahabanya, harus mengetahui ayat yang posisinya sebagai nasikh dan mansukh, dan juga harus mengetahui ayat mana yang turun lebih dahulu dan datang kemudian [5]

B. TAARUD DAN TARJIH
Taarud (berlawanan) menurut bahasa artinya pertentangan satu dengan yang lainnya dan mmenurut arti syara’ ialah berlawanan dua buah nash yang kedua hukumnya berbeda dan tidak mungkin keduanya dilaksanakan dalam satu waktu.
Tarjih ialah memperkuat salah satu dari dua dalil atau lebih yang berlawanan dengan adanya tanda meyakinkan mujtahid bahwa dalil tertentu lebih kuat dari dalil lainnya.
Contoh dalil yang berlawanan :
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur (  
orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari(QS. AL BAQARAH : 234)
ayat memberikan petunjuk bahwa setiap wanita yang ditinggalkan suaminya meninggal ‘iddahnya empat bulan sepuluh hari,baik wanita itu hamil atau tidak hamil. Namun kalau dilihat dalam firman Allah pada surah lain :
àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 
“dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”(QS AT THALAQ : 4)
Ayat ini memberikan petunjuk setiap perempuan yang hamil yang suaminya meninggal atau diceraikan suaminya sedang mereka dalam keadaan hamil. maka iddahnya sampai melahirkan.
Kalau dilihat sepintas kilas dalam ayat pertama perempuan yang hamil yang ditinggalkan suaminya meninggal ‘iddahnya empat bulan sepuluh hari danmenurut ayat kedua ‘iddahnya sampai melahirkan , maka nampaknya kedua nash ini berlawanan kalau diterangkan pada kasus yang sama ,yang seperti ini danamakan “Ta’arudh”.
Tidak dapat dikatakan terjadi perlawanan dua buah dalil terkecuali dua dalil itu sama kuat , dan kalau satu dalil itu lebih kuat maka wajib melaksanakandalil yang terkuat dan dalil yang lemah wajib ditinggalkan. Karena itu tidak mungkin terdapat berlawanan antara dalil yang qath’I dan dalil yang zanni ,tidak mungkin terjadi brlawanan  antara nash dan ijmak atau dengan kias.yang mugkin terjadi berlawanan antara ayat dengan ayat atau hadits dengan hadits yang mutawatir dengan hadits mutawatir.
Diantara cara mentarjihkan dua buah nash yang tAmpaknya berlawanan ialah dengan mentakwilkan salah satu nash sehingga tidak kelihatan lagi pertentangan. Dan juga dengan cara menganggap salah satu nash menjadi takhsis nash yang umumatau menjadikan taqyid yang mutlaq.maka yang khusus atau yang muqayyad dilaksanakan pada kasus lain dan yang lainnya tetap berlaku umum atau tetapberlaku mutlaq.
Kalau terjadi pertentangan nash yang bersumber dari dua buah hadits maka cara mentarjihkannya dengan melihat kEpada kekuatan matan dan sanad hadits itu. Dari segi matan yang lebih kuat dalalahnya itulah yang diambil seperti yang diterangkan diatas ,dan dari segi sanad , hadits mutawatir lebih kuat dari hadits-hadits lainnya. Masyur lebih kuat dai ahad, perawi yang lebih adil dan ingatannya lebih kuat tentunya lebih kuat dari hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang kurang adil dakursng kuat ingatannya.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan,
Kata naasikh berasal dari kata naskh yang secara etimologi mengandung beberapa arti , yaitu menghapus dan menghilangkan ( al-izaalat) , mengganti dan menukar ( at-tabdiil), memalingkan (at-tahwiil) , dan menukilkan dan memindahkan (an-naql). Jadi naasikh adalah sesuatu yang menghapus, mengganti dan membatalkan atau yang tidak memberlakukan . adapun mansuukh adalah sesuatu yang dihapus , diganti dan dibatalkan atau yang tidak diberlakukan.
              Sedangkan secara terminologi arti nasikh dan mansukh adalah membatalkan pelaksanaan hukum syara dengan dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan penghapusannya secara jelas atau implisit (dhimni). Baik penghapusan itu secara keseluruhan atau sebagian, menurut kepentingan yang ada. Atau melahirkan dalil yang datang kemudian yang secara implisit menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu .
Taarud (berlawanan) menurut bahasa artinya pertentangan satu dengan yang lainnya dan mmenurut arti syara’ ialah berlawanan dua buah nash yang kedua hukumnya berbeda dan tidak mungkin keduanya dilaksanakan dalam satu waktu.
Tarjih ialah memperkuat salah satu dari dua dalil atau lebih yang berlawanan dengan adanya tanda meyakinkan mujtahid bahwa dalil tertentu lebih kuat dari dalil lainnya.





DAFTAR PUSTAKA
PT Ichtiar Baru van Hoeve, Nasikh dan Mansukht, Ensiklopedi Islam.Jakarta :2002
Abdul Wahab Khalaf . Prof. Dr, Kaidah Kaidah Hukum Islam.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994
 Manna Khalil al-Qattan , Studi Ilmu-Ilmu Qur`an .Jakarta: Litera Antar Nusa ,1994
Asywadie Syukur. Pengantar Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh.Surabaya, Bina Ilmu,1990



[1] PT Ichtiar Baru van Hoeve, (ed), Nasikh dan Mansukht, Ensiklopedi Islam (Jakarta :2002 ) , cet ke x , jilid 4 hal 16
[2]  Abdul Wahab Khalaf . Prof. Dr, Kaidah Kaidah Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994) cet ke 5 hal 368

[3] [3] Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari'at, (Beirut : Dar Al-Ma'arif, 1975) jilid III, h. 108. dan lihat Quraish Sihab , Membumi, Nasikh, http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Nasikh.html
[4] PT Ichtiar Baru van Hoeve, (ed), Nasikh dan Mansukht, Ensiklopedi Islam (Jakarta :2002 ) , cet ke x , jilid 4 hal 18
[5] Manna Khalil al-Qattan , Studi Ilmu-Ilmu Qur`an , ter , (Jakarta: Litera Antar Nusa ,1994), cet ke 2, hal 330

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites